Nilai tukar rupiah akhirnya menutup perdagangan Senin (24/11/2025) dengan catatan positif. Mata uang domestik ini berhasil menguat 17 poin atau sekitar 0,10 persen, sehingga berada di level Rp16.699 per dolar AS. Penguatan ini datang di tengah situasi pasar global yang cukup beragam.
Menurut pengamat pasar uang Ibrahim Assuaibi, ada beberapa faktor eksternal yang mendorong penguatan rupiah. Salah satunya adalah keraguan pelaku pasar terhadap tren harga emas ke depan. Di sisi lain, pidato para pejabat Federal Reserve dan kembalinya data ekonomi AS memberikan sinyal bahwa perekonomian negeri Paman Sam itu tetap solid.
"Probabilitas penurunan suku bunga sebesar 25 basis poin oleh Federal Reserve pada bulan Desember melonjak menjadi sekitar 69 persen dari sekitar 44 persen seminggu sebelumnya, menurut CME FedWatch Tool,"
tulis Ibrahim dalam risetnya.
Kenaikan ekspektasi ini tak lepas dari komentar John Williams dari The Fed New York yang memberi isyarat bahwa penyesuaian kebijakan mungkin segera dilakukan. Namun begitu, sejumlah pejabat The Fed lainnya justru memberikan peringatan berbeda. Mereka menilai inflasi masih terlalu tinggi dan pasar tenaga kerja terlalu ketat untuk melakukan pemangkasan suku bunga saat ini. Jadi, hasil akhirnya masih benar-benar belum bisa dipastikan.
Pelaku pasar kini lebih berfokus pada berbagai sinyal ekonomi yang beragam, terlebih dengan adanya penundaan rilis data inflasi utama. Data inflasi PPI AS dan penjualan ritel yang akan dirilis Selasa (25/11/2025) menjadi perhatian berikutnya. PPI inti diperkirakan naik 0,3 persen secara bulanan di September, sementara Penjualan Ritel diproyeksikan meningkat 0,4 persen pada periode yang sama.
Di luar faktor ekonomi murni, perkembangan geopolitik juga turut mempengaruhi sentimen. AS dan Ukraina dikabarkan telah membuat kemajuan dalam perundingan perdamaian. Rencananya, Ukraina harus menyerahkan sebagian wilayah dan membatalkan niat bergabung dengan NATO.
Presiden AS Donald Trump bahkan sudah memberi batas waktu hingga Kamis ini, meski para pemimpin Eropa mendesak kesepakatan yang lebih menguntungkan. Jika kesepakatan damai benar-benar terwujud, sanksi terhadap Rusia yang selama ini membatasi ekspor minyaknya bisa dicabut. Padahal, Rusia adalah produsen minyak mentah terbesar kedua di dunia setelah AS pada tahun 2024.
Artikel Terkait
PNBP Anjlok 15,57%, Kemenkeu Andal Sumber Lain untuk Kejar Target
Impack Pratama Gelontorkan Rp 250 Miliar untuk Pusat Pelatihan Polimer Kelas Dunia
SSMS Rogoh Rp1,6 Triliun untuk Akuisisi Saham Afiliasi
Antrean Solar Palembang Picu Kelumpuhan Rantai Distribusi