Pekan ini, rupiah menunjukkan performa yang cukup moncer. Berdasarkan pantauan Bloomberg, mata uang kita ditutup pada level Rp 16.716 per dolar AS pada Jumat (21/11). Angka ini menguat 20 poin dibanding penutupan sesi sebelumnya yang berada di posisi Rp 16.736.
Namun begitu, prospek untuk perdagangan Senin depan tampaknya tidak akan semulus itu. Ibrahim Assuaibi, Direktur PT Trazé Andalan Futures, memperkirakan rupiah akan bergerak fluktuatif dan cenderung ditutup melemah. Rentang yang diprediksi adalah antara Rp 16.710 hingga Rp 16.740 per dolar AS.
Lalu, apa saja yang mendorong penguatan rupiah kali ini? Menurut Ibrahim, ada kombinasi faktor eksternal dan internal yang berperan. Dari peta global, ada secercah harapan dari progres perdamaian Rusia dan Ukraina.
“Zelensky siap bekerja sama dengan AS dalam rencana perdamaian Ukraina. Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy mengatakan ia telah menerima rencana perdamaian 28 poin yang disusun bersama oleh AS dan Rusia yang menandakan kesediaannya untuk segera mengerjakannya,” katanya dalam sebuah analisis, dikutip Sabtu (22/11).
Meski terdengar positif, rencana itu konon meminta pemerintah Ukraina untuk menyerahkan seluruh wilayah Donbas dan memangkas kekuatan militernya secara signifikan, seperti dilaporkan Reuters.
Di sisi lain, sanksi AS terhadap raksasa minyak Rusia, Rosneft dan Lukoil, resmi berlaku Jumat malam. Sanksi yang diumumkan awal tahun ini dampaknya sudah terasa. Pembeli utama seperti India dan China disebut-sebut sudah mulai menarik diri dari pembelian kargo.
Faktor eksternal lain datang dari The Fed. Ibrahim, yang juga pengamat mata uang dan komoditas, menyebut bank sentral AS itu kecil kemungkinannya akan memotong suku bunga acuan pada Desember. Ini didasari oleh laporan ketenagakerjaan AS yang mencatat penambahan tak terduga 119.000 lapangan kerja untuk bulan September. Meski begitu, tingkat pengangguran justru naik ke 4,4 persen dan data bulan-bulan sebelumnya direvisi turun.
Suasana ini makin diperkuat dengan komentar hawkish dari sejumlah petinggi The Fed. Presiden Fed Cleveland, Beth Hammack, mengingatkan bahwa pelonggaran kebijakan moneter saat ini bisa memicu risiko finansial. Sementara Gubernur The Fed Michael Barr mengaku masih khawatir dengan inflasi yang bertengger di angka 3 persen.
Artikel Terkait
OJK Desak Bank Turunkan Bunga Kredit, Transparansi ke Nasabah Diperkuat
MedcoEnergi (MEDC) Rebut Pasar AS, Catatkan Diri Sebagai Perdana di OTCQX
TRIOP Pacu Produksi, Genjot Target Batu Bara Tiga Kali Lipat di 2026
Seiko Buka Butik Eksklusif di Surabaya, Siapkan Jam Selam Langka