Ambil contoh Tangerang. Dari pasokan 173.944 m², cuma 22,42% yang bisa dipakai buat pabrik. Di Bogor, persentasenya lebih kecil lagi: hanya 17,75% dari total 182.934 m².
Lalu di mana lokasi yang prospeknya lebih baik? Karawang dan Purwakarta. Di dua wilayah ini, dari total pasokan 694.670 m², sekitar 86,57% lahannya memungkinkan untuk dibangun pabrik. Bekasipun tak kalah menarik. Dari 1,3 juta meter persegi pasokan lahan, lebih dari 76%-nya berpotensi untuk pabrik.
Menariknya, perusahaan China ini ternyata tak terlalu tergiur insentif pajak di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Kenapa? Prioritas mereka sederhana: cepat operasi. “Mereka ogah kalau harus nunggu lama. Misal kami tawarkan KEK Kendal, ya enggak ada pabrik siap pakainya. Proses perizinan di KEK juga biasanya lebih berbelit,” papar Esti.
Alasan lain yang membuat mereka lebih memilih sewa daripada beli adalah soal waktu. Dengan menyewa, mereka bisa langsung pakai. Kalau beli, proses akuisisi bisa makan waktu berbulan-bulan. “Mereka maunya datang hari ini, besok—atau bahkan kemarin—langsung produksi. Tujuannya jelas: ekspor ke Amerika secepat mungkin,” tandas Esti.
Jadi, meski peluang bisnisnya besar, tantangan pasokan lahan yang tepat masih jadi pekerjaan rumah yang serius.
Artikel Terkait
Defisit APBN Tembus Rp 479 Triliun, Menkeu: Masih dalam Batas Aman
Inalum Ajukan Entitas Baru untuk Dongkrak Smelter Mempawah 600.000 Ton
POSCO International Kuasai Sampoerna Agro, Perkuat Cengkeraman di Bisnis Sawit Indonesia
Pundi-Pundi Negara Digeber, Bea Keluar Emas Ditaksir Raup Rp 6 Triliun