Lahan Luas dan Ledakan Pusat Data
Di sisi lain, kebutuhan listrik untuk pusat data di Malaysia diprediksi bakal melonjak hingga 5 gigawatt (GW) pada 2035. Angka itu setara dengan 20 persen dari kapasitas listrik negara. Waduh.
Otomatis, industri ini butuh pasokan energi yang besar, salah satunya dari panel surya. Alhasil, kebutuhan lahan untuk ladang panel surya dan farm server pun ikut naik. Nah, di saat yang sama, perusahaan sawit lah yang menguasai lahan paling banyak dibanding entitas swasta mana pun.
Menurut analis DC Byte, Vivian Wong, ini adalah peluang unik bagi perusahaan perkebunan. Mereka punya lahan luas, yang memungkinkan pengembangan pusat data berskala besar. Laporan Maybank tahun lalu bahkan memperkirakan, keuntungan bisnis ladang panel surya skala besar bisa lebih dari 50 kali lipat dibanding rata-rata keuntungan budidaya sawit. Fantastis.
Memang, Malaysia sedang berada di pusat ledakan industri pusat data Asia Tenggara. Mereka jadi pasar dengan pertumbuhan tercepat di kawasan Asia-Pasifik. Faktanya, 40 persen kapasitas pusat data Asia Tenggara kini mengarah ke Malaysia.
Dalam empat tahun terakhir, investasi pusat data ke negeri jiran itu mencapai USD 34 miliar. Google menggelontorkan USD 2 miliar, Microsoft USD 2,2 miliar, dan Amazon dengan USD 6,2 miliar. Pemerintah Malaysia sendiri menargetkan punya 81 pusat data pada 2035.
Lonjakan permintaan lahan ini juga tak lepas dari kebijakan Singapura yang menerapkan moratorium pembangunan pusat data selama beberapa tahun. Akibatnya, para operator pusat data pun beralih ke Johor, Malaysia. Sekarang, Johor mulai ramai dengan farm server milik Singtel, Nvidia, dan ByteDance. Perubahan besar sedang terjadi—dan perusahaan sawit ada di garda depan.
Artikel Terkait
Archi Indonesia Kantongi Pinjaman Sindikasi USD 421 Juta, Prospek Emas Kian Bersinar
Chandra Asri Suntik Rp 12,5 Triliun untuk Akuisisi SPBU Esso di Singapura
Seppalga Ahmad Lengser dari Jasa Marga Usai Dapat Amanah Baru di Danareksa
Emas Antam Melonjak Rp21 Ribu, Sentuh Level Rp2,36 Juta per Gram