Kalau kamu besar di era 90-an, pasti ingat betapa serunya balapan di Rainbow Road Mario Kart. Atau sensasi menemukan rahasia tersembunyi di Pokémon Red tanpa bantuan apa pun. Rasanya, momen-momen itu nggak pernah benar-benar hilang.
Dulu, game punya akhir. Kamu beli kartrid atau disk, mainkan, dan selesai. Gagal? Ya ulang dari awal. Semuanya butuh usaha nyata. Keterampilanmu benar-benar diuji.
Sekarang? Coba lihat anak-anak main Fortnite atau Roblox. Mereka akrab dengan battle pass, beli skin pakai uang asli, dan terus dikejar notifikasi event terbatas. Perbedaannya nggak cuma di grafis atau konsol. Soalnya lebih dalam dari itu: ini soal bagaimana otak kita, terutama anak-anak, berkembang dan merespons hadiah.
Veronica Lichtenstein, seorang konselor kesehatan mental, masih merasakan kepuasan itu. Menamatkan game jadul, katanya, adalah "kemenangan sejati".
Namun begitu, menurutnya, banyak game modern membalik logika itu. Yang gratis sering cuma umpan. Sistemnya dirancang untuk menciptakan ketidaknyamanan kecil misalnya progres yang lambat lalu menawarkan solusi instan: bayar. Mulai dari Rp 80 ribu untuk kosmetik virtual, sampai ratusan ribu untuk mempercepat permainan.
Lebih parah lagi, game-game ini memantau setiap klikmu. Data itu lalu dikirim ke algoritma yang tahu persis kapan harus memunculkan penawaran spesial, agar pemain terutama anak enggan berhenti.
Ia menyebutnya "dopamin junk food". Kepuasan instan yang meledak tapi cepat menguap. Anak-anak jadi terbiasa mencari stimulasi terus-menerus, bukan kepuasan bertahap yang dulu dirasakan generasi sebelumnya.
Artikel Terkait
Jaringan Telekomunikasi Sumbar Bangkit Pasca Bencana, Pulih Hampir 100%
Samsung Luncurkan Galaxy Tab A11+, Tablet 5G dengan AI di Bawah Rp 4 Juta
Survei Ungkap 64% Konsumen Masih Kecewa Setelah Barang Tiba, Blibli Luncurkan Solusi No Blabla
Warisan Tersembunyi: Beban Pensiun ASN yang Mengintai Generasi Mendatang