Mood Swing Bukan Sekadar Perasaan, Ini Pengaruh Hormon di Balik Layar

- Rabu, 17 Desember 2025 | 15:06 WIB
Mood Swing Bukan Sekadar Perasaan, Ini Pengaruh Hormon di Balik Layar

Lalu, bagaimana cara hormon seks memengaruhi mood? Salah satunya dengan meningkatkan kadar serotonin dan dopamin di otak. Estrogen, misalnya, bisa membuat reseptor serotonin lebih responsif. Teori lain menyebut estrogen melindungi neuron dari kerusakan dan merangsang pertumbuhan sel baru di hipokampus area otak yang vital untuk memori dan emosi. Menariknya, antidepresan dan psikedelik seperti psilocybin juga memicu pertumbuhan neuron di area yang sama.

"Estrogen bersifat neuroprotektif, mendorong neurogenesis," kata Ismail.

"Itu sebabnya, saat menopause, terjadi semacam 'penyusutan' yang kerap dikaitkan dengan 'kabut otak' dan masalah ingatan."

Ketika Tubuh Merespons Stres

Hilangnya neuron di hipokampus bisa mengacaukan sistem lain: sumbu hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA), yang mengatur respons stres. Saat cemas, hipotalamus memicu rangkaian sinyal yang berujung pada pelepasan kortisol, si hormon stres.

"Sumbu HPA teraktivasi saat seseorang stres. Dalam jangka pendek, ini adaptif. Tapi kalau berkepanjangan, jadi merugikan," jelas Hantsoo.

Biasanya, ada mekanisme umpan balik untuk menghentikan banjir kortisol. Tapi pada stres kronis, mekanisme ini macet. Kortisol terus mengalir, memicu peradangan otak, membunuh neuron di hipokampus, amigdala, dan korteks prefrontal area yang mengendalikan emosi, konsentrasi, dan memori.

"Atrofi di amigdala dikaitkan dengan emosi yang meluap dan sulit mengendalikan perasaan negatif," papar Ismail.

Di sisi lain, ada hormon yang efeknya berlawanan: oksitosin. Sering dijuluki "hormon cinta", oksitosin menciptakan rasa nyaman dan kedekatan. Hormon ini dilepaskan saat melahirkan, menyusui, atau berpelukan.

"Oksitosin dikaitkan dengan perasaan aman dan bisa membantu melawan efek stres," kata Ismail.

Meski begitu, belum semua sepakat. Misalnya, belum pasti apakah oksitosin yang dihirup bisa benar-benar mencapai otak.

Yang lebih jelas justru peran hormon tiroid. Ketidakseimbangan hormon T3 dan T4 bisa picu kecemasan (jika terlalu tinggi) atau depresi (jika terlalu rendah). Kabar baiknya, mengoreksi kadar hormon ini sering kali langsung meredakan gejala pasien.

"Seringkali ketika kita mampu mengoreksi hormon yang bermasalah, suasana hati pun ikut membaik," ujar Ismail.

Harapan untuk Perawatan Baru

Pemahaman baru ini mulai membuahkan hasil. Brexanolone, obat yang meniru allopregnanolone, terbukti efektif tangani depresi pascapersalinan. Ada juga bukti bahwa suplemen testosteron bisa meningkatkan efektivitas antidepresan pada pria dengan kadar hormon rendah. Terapi estrogen juga membantu memperbaiki mood sebagian perempuan di masa menopause.

Tapi jalan menuju pengobatan yang tepat masih berliku. Kontrasepsi hormonal, contohnya, bisa jadi solusi bagi sebagian perempuan dengan PMDD, tapi justru memperburuk gejala bagi yang lain. Ini menunjukkan betapa rumit dan personalnya respons tiap orang terhadap hormon.

"Kita tahu hormon mempengaruhi kesehatan mental, tapi kita perlu paham betul caranya sebelum menemukan pengobatan yang tepat," pungkas Ismail.

Faktanya, antidepresan konvensional yang mengatur serotonin tidak selalu manjur, terutama pada remaja. Itu artinya, masih banyak yang harus digali. Penelitian ke depan perlu menyelami lebih dalam interaksi rumit antara hormon, otak yang masih berkembang, dan faktor-faktor unik yang membuat setiap orang berbeda.


Halaman:

Komentar