Bom Waktu Pensiun ASN: Siapa yang Akan Menanggung Beban Masa Depan?

- Senin, 08 Desember 2025 | 09:36 WIB
Bom Waktu Pensiun ASN: Siapa yang Akan Menanggung Beban Masa Depan?

Permukaannya tenang, tapi di bawahnya ada tekanan besar. Mirip sesar bumi atau bom waktu yang detaknya pelan. Itulah gambaran yang tepat untuk satu persoalan yang kini ada di depan mata kita: Sistem Pensiun Aparatur Sipil Negara (ASN).

Dulu, sistem ini adalah simbol kepastian. Seseorang mengabdi, lalu negara menjamin hari tuanya. Sebuah kontrak sosial yang terasa adil dan manusiawi. Tak heran jika ia pernah dianggap sebagai pilar kesejahteraan yang paling menjanjikan bagi para abdi negara.

Tapi zaman sudah berubah total. Demografi, beban keuangan negara, bahkan dunia kerja semuanya berbeda. Di tengah perubahan drastis ini, kita harus berani bertanya: masih sanggupkah sistem warisan ini menghadapi tantangan masa depan?

Penuaan Aparatur dan Tekanan yang Tak Terlihat

Faktanya, Indonesia sedang menuju struktur penduduk yang menua. Dalam dua dekade mendatang, jumlah lansia bakal melonjak. Tren serupa terjadi di tubuh ASN. Gelombang besar pegawai yang direkrut era 80-an dan 90-an kini mulai memasuki masa pensiun.

Implikasinya sederhana tapi serius: penerima pensiun bertambah banyak, sementara jumlah pegawai aktif yang menopangnya tak sebanding. Ini hukum demografi, tak bisa ditawar-tawar lagi.

Secara teknis, negara memang selalu bisa membayar. Namun dalam praktiknya, setiap kenaikan belanja pensiun berarti ruang untuk hal lain jadi menyempit. Pendidikan, kesehatan, infrastruktur semua bisa terpangkas karena desakan ini.

Yang bikin runyam, beban ini sering tak tampak sebagai “utang” di laporan keuangan. Ia tak tercatat sebagai obligasi. Tapi para ekonom fiskal paham betul, inilah yang disebut kewajiban implisit jangka panjang. Utang yang nyata, cuma tak tertulis.

Dan justru karena tak tertulis itulah, bahayanya mengintai.

Siapa yang Sebenarnya Membayar Pensiun ASN?

Banyak orang keliru mengira sumber dana pensiun murni dari iuran pegawai. Nyatanya, dalam sistem yang berlaku sekarang, sebagian besar dananya bersumber langsung dari APBN tahun berjalan. Ini terjadi karena pemerintah tak menyetor kewajiban iurannya sebagai pemberi kerja ke dana pensiun sejak awal.

Jadinya, siapa yang menanggung?

Generasi ASN yang aktif bekerja sekarang ikut menanggung. Begitu pula generasi muda yang rajin bayar pajak. Bahkan rakyat yang sama sekali bukan PNS pun ikut terbebani.

Mereka semua, tanpa sadar, ikut memikul kewajiban masa lalu.

Sistem ini dalam literatur keuangan publik dikenal sebagai pay-as-you-go system. Prinsipnya, dana yang terkumpul hari ini langsung dipakai untuk membayar pensiun hari ini juga. Dulu sistem ini relevan, ketika jumlah usia produktif melimpah dan harapan hidup masih pendek.

Tapi sekarang? Umur manusia makin panjang, sementara rasio pekerja terhadap pensiunan makin kecil. Alhasil, sistem yang dulu baik berubah jadi mesin penekan fiskal yang bekerja senyap, pelan, tapi pasti.

Ketidakadilan Antar Generasi

Nah, di sini masalahnya jadi lebih dalam: soal keadilan lintas generasi.

Generasi ASN di masa lalu menikmati sistem yang relatif ringan. Sementara generasi sekarang dan mendatang menghadapi beban ganda. Pertama, mereka harus menanggung pensiun generasi sebelumnya lewat pajak dan kontribusi. Kedua, belum tentu mereka mendapat jaminan yang sama saat pensiun nanti.

Ini ketimpangan yang tak kasat mata. Ia jarang memicu demo, tapi perlahan-lahan menggerogoti rasa keadilan dalam kontrak sosial antara negara dan aparaturnya.


Halaman:

Komentar