Kaki Septian Andriki terhenti. Di tengah rimba Sumatra yang mulai diselimuti senja, pandangannya tertumbuk pada sesuatu yang luar biasa: Rafflesia Hasseltii berwarna merah, belum sepenuhnya mekar. Begitu yakin dengan identitasnya, pria yang akrab disapa Deki itu langsung menitikkan air mata. Rasanya seperti mimpi. Bunga langka yang terakhir tercatat 13 tahun silam itu akhirnya ditemukan kembali.
Deki, mantan guru olahraga asal Bengkulu yang kini banting setir jadi pegiat konservasi, tidak melakukan perjalanan ini sendirian. Ia ditemani Chris Thorogood, ilustrator botanis dari Oxford University, dengan pemandu lokal Iswandi dari Lembaga Pengelolaan Hutan Nagari. Misi mereka tanggal 19 November 2025 itu punya satu tujuan utama: menemukan Rafflesia Hasseltii.
Dimulai dari Sebuah Pesan
Kisah penemuan ini ternyata berawal dari percakapan di Instagram pada 2019. Chris, yang membutuhkan referensi warna asli untuk ilustrasinya, merasa kamera sering gagal menangkap nuansa sebenarnya. Ia butuh melihat langsung. Karena itu, ia menghubungi Deki yang sudah dikenal aktif membahas Rafflesia di media sosial.
"Chris sudah tiga kali bolak-balik ke Indonesia dalam lima tahun terakhir. Tahun 2021 gagal karena pandemi dan salah spesies. 2022 datang lagi, tapi kami hanya menemukan Rhizanthes Deceptor dan Rafflesia kelopak tujuh, bukan Hasseltii," cerita Deki kepada kumparanSAINS melalui sambungan telepon.
Setelah tiga tahun komunikasi tak terlalu intens, kabar menggembirakan akhirnya datang pada Mei 2025. Ada laporan tentang Rafflesia unik di Sumatra. Sayangnya, saat itu bunga sudah menghitam sebelum sempat diidentifikasi dengan benar.
Namun begitu, di bulan November, Iswandi warga lokal yang juga Ketua LPHN mengabarkan ada bonggol yang siap mekar. Dari sanalah ekspedisi akhirnya dimulai.
Jalur Berbahaya dan Ujian Mental
Perjalanan menuju lokasi sama sekali tidak mudah. Mereka harus menempuh perjalanan darat dari Bengkulu yang awalnya diperkirakan 15 jam, tapi molor sampai 20 jam. Begitu tiba di kabupaten terdekat, tantangan sesungguhnya baru dimulai: menyusuri trek yang nyaris tegak lurus.
Medan begitu berat sampai-sampai Pak Joko Wintono dari BRIN yang ikut serta terpaksa menyerah karena kelelahan. Deki pun mengantarnya turun sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali menyusul Chris dan Iswandi.
"Pas saya susul ke atas, napas saya habis. Waktu sudah menunjukkan pukul 6 sore, gelap mulai menyergap. Dan Bapak Iswandi bercerita, ini adalah habitat Harimau Sumatra. Predator malam yang aktif ketika matahari terbenam," ungkap Deki.
Artikel Terkait
Fujifilm X-T30III Meluncur, Bawa Sentuhan Klasik untuk Konten Kekinian
Mahasiswa ITS Rancang Halte Transjakarta Masa Depan, Bakal Diwujudkan 2026
Duduk Terlalu Lama, Pintu Masuk Bagi Penyakit Kronis yang Tak Disadari
Mahasiswa Unair Rancang Perisai Nano untuk Atasi Diabetes Tipe 1