Kedaulatan di Tepi Landasan Pacu
Oleh: Chairil Baharudin
Advokat • Public Policy Insight
Di Morowali, Sulawesi Tengah, ada sebuah bandara yang berdiri di dalam kawasan industri Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP). Awalnya, infrastruktur ini dianggap cuma fasilitas logistik internal untuk kepentingan korporasi belaka. Tapi seiring waktu, fungsinya berkembang jauh lebih luas. Ia melayani penerbangan reguler, mobilitas pekerja, termasuk arus tenaga kerja asing. Yang jadi masalah sebenarnya bukan kehadirannya, tapi minimnya jejak pengawasan negara dalam operasional bandara itu.
Lantas, muncul pertanyaan krusial: apakah bandara ini sekadar bagian dari efisiensi industri, atau justru telah berubah jadi infrastruktur strategis yang berjalan di luar kendali penuh negara? Pertanyaan ini penting. Sebab ruang udara bukanlah ruang privat ia adalah manifestasi langsung dari kedaulatan.
Ruang Udara yang Tak Bisa Diprivatisasi
UU Nomor 1 Tahun 2009 sudah jelas menyatakan: wilayah udara Indonesia berada di bawah kedaulatan negara. Artinya, setiap aktivitas penerbangan baik komersial maupun privat harus tunduk pada kontrol dan otoritas negara.
Bandara bukan cuma soal landasan pacu atau terminal. Di dalamnya melekat fungsi strategis negara: mulai dari imigrasi, bea cukai, navigasi penerbangan, pengamanan, sampai peran TNI AU sebagai penjaga ruang udara nasional. Ketika fungsi-fungsi ini absen atau dijalankan setengah-setengah, yang terjadi adalah kekosongan tata kelola. Dan itu berpotensi menggerus peran negara secara perlahan.
Memang, regulasi Indonesia tidak melarang bandara privat. Tapi status privat bukan berarti bebas dari pengawasan negara. Apalagi jika fasilitas itu terhubung dengan mobilitas manusia lintas daerah bahkan lintas negara.
Antara Hilirisasi dan Kendali Regulasi
IMIP selama ini dikenal sebagai simbol transformasi ekonomi berbasis hilirisasi mineral. Kontribusinya terhadap peningkatan kapasitas industri nasional tak bisa dipandang remeh. Namun, kasus bandara di dalamnya justru menyoroti sisi lain dari ambisi pembangunan: investasi seringkali melaju lebih cepat ketimbang kesiapan tata kelola kita.
Menurut sejumlah pemberitaan, bandara ini diduga digunakan untuk penerbangan reguler yang mengangkut pekerja asing, tapi belum sepenuhnya tunduk pada kerangka izin dan kontrol negara layaknya bandara publik. Kalau benar begitu, ini bukan cuma sekadar persoalan administratif. Ini adalah sinyal bahwa otoritas negara kurang hadir di ruang yang mestinya berada di bawah yurisdiksi penuhnya.
Artikel Terkait
Gus Yahya Bongkar Kejanggalan Surat Pemecatan yang Beredar di Medsos
Gelombang Deepfake Pornografi: 99 Persen Korban Adalah Perempuan
Purbaya Soroti Saham Gorengan di Balik IHSG Tembus 8.602
Harta Karun 10 Kg Emas Terungkap dari Loker Eks Perdana Menteri Bangladesh