Bogor dan Hujan: Kisah Cinta yang Tak Pernah Usai

- Minggu, 23 November 2025 | 08:06 WIB
Bogor dan Hujan: Kisah Cinta yang Tak Pernah Usai

Hubungan Bogor dengan hujan itu sudah kayak pasangan lama. Sulit dipisahkan, penuh dinamika, tapi entah kenapa tetap bertahan. Julukan "Kota Hujan" buat Bogor bukan sekadar label. Rasanya, awan-awan memang betah nongkrong lama-lama di langit kota ini. Cuacanya bisa berubah dalam sekejap, persis seperti rencana jalan-jalan di akhir pekan yang mendadak batal karena hujan turun duluan.

Di sisi lain, hubungan yang kadang bikin jengkel ini punya sisi uniknya sendiri. Bahkan, ada semacam romantisme tersembunyi di balik rintikan air yang tak pernah bisa diduga.

Cuaca yang Berubah-ubah, Mood Hujan yang Tak Tertebak

Bagi yang belum terbiasa, cuaca Bogor itu benar-benar bikin pusing. Langit cerah di pagi hari sama sekali bukan jaminan. Bisa-bisa, sepuluh menit kemudian hujan mengguyur deras tanpa permisi. Banyak pendatang baru yang gagal paham membaca tanda alam di sini.

Tapi bagi warga asli? Mereka sudah mahir. Cukup dengan merasakan hembusan angin, atau mencium aroma khas dedaunan basah, atau memperhatikan warna langit yang berubah, mereka bisa menebak kapan hujan akan datang. Kepekaan semacam ini lahir dari kedekatan yang intens dengan hujan itu sendiri.

Agenda Hujan yang Tak Pernah Jelas

Hujan di Bogor itu seperti punya jadwal sendiri yang tidak mau dibagi ke siapa-siapa. Pagi turun, siang reda, sorenya datang lagi. Bahkan ketika kamu sudah yakin hari ini bakal kering, eh, rintik-rintik mulai jatuh begitu saja.

Kondisi ini jelas menciptakan tantangan tersendiri. Aktivitas harian seringkali harus menyesuaikan diri. Jalanan licin, genangan di mana-mana, dan kemacetan adalah konsekuensi yang harus diterima. Namun begitu, ada semacam irama yang akhirnya dipahami dan dijalani oleh warganya. Sebuah ritme kehidupan yang basah, tapi justru itu yang membuat Bogor, ya Bogor.

Warga Bogor: Akrab, Tapi Tetap Mengeluh

Jangan dikira karena sudah terbiasa lalu tidak ada keluhan. Tentu saja ada. Hujan tetap saja bisa mengacaukan rencana, membuat jemuran tidak kering-kering, dan membuat perjalanan jadi lebih ruwet. Tapi yang menarik adalah cara mereka beradaptasi. Cepat dan terlihat begitu alami.

Payung? Itu barang wajib. Tas tanpa payung itu seperti mobil tanpa bensin. Jaket anti-air sudah jadi kebutuhan primer, bukan sekadar gaya-gayaan. Dan sandal jepit seringkali jadi pilihan kaki yang lebih masuk akal ketimbang sepatu kulit yang bisa rusak kalau kehujanan.


Halaman:

Komentar