Investasi Migas Melonjak, Birokrasi Berbelit Masih Jadi Momok

- Sabtu, 22 November 2025 | 18:50 WIB
Investasi Migas Melonjak, Birokrasi Berbelit Masih Jadi Momok

Indonesia ternyata berhasil meningkatkan daya tarik investasi di sektor hulu minyak dan gas. Laporan terbaru IHS Markit S&P Global yang dirilis Juni 2025 menunjukkan kenaikan rating ketertarikan secara keseluruhan. Angkanya melonjak dari posisi di bawah 4,75 pada 2021 menjadi 5,35 di tahun ini.

Fakta ini sejalan dengan realita di lapangan. Investasi hulu migas terus merangkak naik, dari USD10,5 miliar di 2020 menjadi USD14,4 miliar tahun lalu. Bahkan, tahun 2025 ini diprediksi bakal tembus USD16,5 miliar. Cukup menggembirakan, bukan?

Tapi jangan senang dulu. Di balik angka-angka mentereng itu, ada persoalan klasik yang masih menghantui: birokrasi. Menurut riset ReforMiner Institute, pelaku usaha hulu migas atau Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) harus melalui proses yang sangat berbelit. Bayangkan, ada sekitar 140 proses perizinan yang melibatkan 17 kementerian dan lembaga. Waktu yang dibutuhkan untuk setiap perizinannya? Bervariasi, mulai dari 3 bulan sampai 2 tahun!

Kalau dibandingin sama negara lain, kita jelas ketinggalan jauh. Di Brasil, pelaku usaha cuma perlu urus izin dari dua lembaga. Norwegia empat, Malaysia cuma satu. Bahkan Amerika Serikat dan Nigeria aja cuma tiga lembaga.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro angkat bicara soal ini dalam diskusi online Jumat (21/11/2025).

"Meski Pemerintah melalui SKK Migas telah berupaya menyederhanakan perizinan kegiatan hulu migas, hal tersebut belum berdampak pada pengurangan jumlah kelembagaan yang terlibat," ujarnya.

Ia melanjutkan, "Beberapa tahun terakhir, ada beberapa investor yang 'balik kampung' karena mereka melihat prospek di luar lebih bagus, termasuk kemudahan berusahanya."

Komaidi juga menyoroti kajian Indonesian Petroleum Association (IPA) dan Wood Mackenzie pada 2023 yang menyebut perizinan di Indonesia memang kompleks. Beberapa faktor penyebabnya antara lain sifat birokrasi yang berbelit, regulasi yang tidak selaras, dan ketidakstabilan kebijakan akibat siklus politik lima tahunan.

Meski begitu, dalam lima tahun terakhir, pemerintah sebenarnya sudah melakukan beberapa terobosan positif. Misalnya, penerapan fleksibilitas sistem kontrak bagi KKKS, mulai dari PSC Cost Recovery, PSC Gross Split, sampai New Simplified Gross Split. Ada juga ruang untuk perubahan skema kontrak dari Gross Split ke Cost Recovery, plus mekanisme negosiasi signature bonus yang disesuaikan dengan keekonomian proyek.

Di sisi lain, pemerintah juga sudah berupaya meningkatkan kemudahan berusaha melalui deregulasi dan penyederhanaan perizinan di lingkungan Kementerian ESDM. Beberapa aturan yang sudah diterbitkan antara lain Permen ESDM 23/2015, 15/2016, dan 29/2017 jo Permen ESDM 52/2018.


Halaman:

Komentar