Langkah lain termasuk penerapan One Door Service Policy (ODSP) untuk perizinan teknis di SKK Migas, serta pengembangan sistem OSS yang diintegrasikan dengan kementerian dan lembaga terkait. Belum lagi terbitnya UU Cipta Kerja dan perubahannya, serta PP No. 5 Tahun 2021 dan PP No. 28 Tahun 2025 tentang Perizinan Berbasis Risiko.
Tapi sayangnya, menurut Komaidi, berbagai upaya tadi belum benar-benar menyentuh akar masalah. Persoalan kompleksitas birokrasi-perizinan, terutama untuk izin operasional kegiatan usaha hulu migas, masih tetap ada.
"Sejauh ini upaya penyederhanaan perizinan, terutama melalui UU Cipta Kerja, lebih mengarah pada penyederhanaan persyaratan dan prosedur yang berkaitan dengan aspek legalitas usaha," jelasnya.
Ia menambahkan, penerapan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dalam kerangka OSS sebenarnya hanya fokus pada perizinan dasar dan persyaratan administratif untuk pendirian usaha. Sementara masalah utama justru ada di tahap operasional. Kebijakan ODSP pun masih terbatas pada izin yang berada di lingkungan SKK Migas.
Lalu, apa solusinya?
ReforMiner menilai perlu ada perbaikan lebih lanjut. Pertama, kebijakan ODSP harus disempurnakan menjadi sistem perizinan terintegrasi yang tidak cuma terbatas di SKK Migas, tapi juga menjangkau perizinan lintas kementerian dan lembaga. Intinya, satu pintu saja entah melalui SKK Migas atau BKPM. Sistem digital terintegrasi seperti OSS yang mencakup seluruh perizinan hulu migas juga perlu dipercepat implementasinya. Dan yang tak kalah penting, diperlukan payung hukum yang lebih kuat untuk memberi kewenangan luas bagi SKK Migas atau BKPM dalam mengurus perizinan operasional.
Kedua, perlu aturan tegas tentang batas waktu penyelesaian perizinan. Ini bisa dilakukan dengan merevisi PP 55/2009 tentang perubahan kedua PP 35/2004.
Ketiga, penyederhanaan perizinan harus mencakup aspek kewenangan pemberian izin. Untuk izin yang bersifat sangat teknis, sebenarnya tidak perlu persetujuan berlapis sampai level menteri. Cukup di level birokrasi di bawahnya, atau bahkan dilimpahkan ke SKK Migas.
Terakhir, terkait perizinan daerah, pemerintah sebaiknya menerbitkan aturan pelaksana lanjutan untuk Pasal 14 UU No 23/2014. Aturan ini pada dasarnya memungkinkan segala bentuk perizinan dilimpahkan ke pemerintah pusat. Langkah ini bisa mempermudah koordinasi dan mempercepat proses.
Jadi, meski investasi hulu migas kita meningkat, tantangan birokrasi masih menjadi pekerjaan rumah yang serius. Butuh langkah-langkah berani dan komitmen kuat untuk benar-benar memangkas belitan birokrasi yang selama ini menjadi momok.
Artikel Terkait
Beckham Putra Angkat Bicara Usai Diusir Wasit di Laga Persib vs Dewa United
Prabowo dan PM Inggris Sepakati Kemitraan Strategis Awal 2026
Gangguan Cloudflare Bongkar Kerapuhan Infrastruktur Internet Global
LPS Beberkan Data Mengejutkan: 50 Juta Warga Indonesia Masih Nir-Rekening