Di mana, pekerja informal masih mendominasi dengan persentase 59,40 persen, sementara kesejahteraan buruh terus tergerus praktik outsourcing yang belum dihapus meski telah diputus inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi.
Di kesempatan berbeda, Sekretaris Jenderal DPP GMNI, Amir Mahfut, mempertanyakan makna pertumbuhan ekonomi yang tidak berdampak pada kesejahteraan rakyat.
"Apa gunanya pertumbuhan ekonomi jika rakyat masih lapar, petani tercekik utang, guru honorer bergaji ratusan ribu, dan buruh dipaksa hidup dengan upah yang tidak manusiawi?" kritiknya.
Hal ini terlihat nyata saat pejabat memamerkan kekayaan, lemahnya empati terhadap penderitaan rakyat, hingga maraknya kasus korupsi yang melibatkan pejabat publik.
"Bagaimana mungkin kita bicara Indonesia Emas 2045 jika guru masih lapar, sekolah masih roboh, dan rakyat kecil masih diperlakukan sebagai warga kelas dua?" tegas GMNI.
Itu sebabnya, GMNI menuntut pemerintahan di bawah Presiden Prabowo Subianto segera meruntuhkan ketidakadilan struktural ekonomi dan mengembalikannya kepada prinsip Ekonomi Pancasila.
Di satu sisi, GMNI juga menolak gerakan anarkis yang belakangan ini terjadi di beberapa daerah.
Sumber: RMOL
Artikel Terkait
Bahlil Balas Cak Imin: Tobatan Nasuha Juga untuk Penggagas
PB HMI Desak Prabowo Copot Menhaj, Dua Syarikah Dinilai Tak Mampu Layani 221 Ribu Jemaah
Ruhut Sitompul Usulkan Hukuman Tembak Mati untuk Pelaku Perusakan Lingkungan
Menhan Turun Langsung, Operasi Bandara IMIP Dituding Abaikan Kedaulatan Negara