Di sisi lain, Hangabehi membenarkan pertemuan itu. Namun, tak banyak yang mereka bicarakan.
“Silaturahmi aja seperti biasa,” tuturnya singkat.
Lantas, bagaimana awal mula dualisme ini? Semuanya berawal dari prosesi pemakaman. Saat jenazah Pakubuwono XIII hendak diberangkatkan ke Imogiri awal November lalu, Gusti Purboyo mendeklarasikan diri sebagai penerus tahta. Ia menyatakan hal itu di depan iring-iringan jenazah ayahnya.
Namun, cerita tak berhenti di situ. Seminggu kemudian, giliran Lembaga Dewan Adat (LDA) yang bersuara. Melalui pertemuan di Sasana Handrawina Keraton Solo, mereka menobatkan KGPH Hangabehi sebagai Pakubuwono XIV. Keputusan itu, tentu saja, langsung memantik polemik.
Jadi, ada dua versi raja yang muncul hampir berbarengan. Dan pertemuan di Masjid Agung itu adalah babak baru. Sebuah momen di mana kedua pihak, meski hanya sebentar, menunjukkan sikap yang lebih lunak.
Mereka duduk di shaf terdepan, lalu bersalaman. Sebuah gambar yang mungkin tak terbayangkan beberapa pekan sebelumnya, ketika klaim-klaim atas tahta masih begitu keras dan kaku.
Artikel Terkait
Pemuda Tewas Dikeroyok di Teras Rumah Wirobrajan
Tersangka Tabrakan Maut Semarang Belum Ditahan, Polisi Masih Kumpulkan Bukti
Video Estetik Ajudan Prabowo di Tengah Bencana Picu Badai Kritik
Kampung Tengah Berduka: 33 Jenazah Dikebumikan dalam Tanah Basah