Kewarasan Publik Terancam: Jebakan Post-Truth dan Perang Narasi di Ruang Digital

- Jumat, 19 Desember 2025 | 17:20 WIB
Kewarasan Publik Terancam: Jebakan Post-Truth dan Perang Narasi di Ruang Digital

Kita hidup di era yang aneh. Benar atau salah sebuah fakta seolah tak lagi penting, tergeser oleh narasi yang lebih mengutamakan eksistensi kelompok atau personal. Inilah jebakan pembodohan yang disebut post-truth, dan ia jelas bertolak belakang dengan prinsip kebenaran dan keadilan. Menghadapinya, negara dituntut untuk lebih bijak dan punya sistem yang jelas. Tujuannya satu: melindungi kewarasan kita bersama dari banjir hoaks, misinformasi, dan disinformasi.

Jebakan ini adalah tantangan nyata zaman sekarang. Sadar atau tidak, model kejahatan ini terjadi hampir setiap hari. Caranya? Memenuhi ruang publik dengan narasi sesat, pernyataan bohong beruntun, dan manipulasi informasi. Lewat media sosial, misinformasi dan disinformasi disebarluaskan terus-menerus. Akibatnya, publik dipaksa menerima fakta palsu sebagai kebenaran. Sebaliknya, kebenaran yang nyata justru dianggap sebagai kesalahan.

Ini layak disebut kejahatan. Kenapa? Karena "stupidity trap" atau jebakan kebodohan itu sengaja menargetkan dan merusak kewarasan kolektif. Rancangannya dibuat sedemikian rupa untuk melumpuhkan akal sehat, intelektualitas, dan nalar kritis individu atau komunitas. Tak cuma lewat hoaks, upaya pembodohan juga kerap menciptakan situasi bahkan sistem yang sengaja mendatangkan kebingungan dan penyesatan. Tujuannya jelas: menghalangi orang untuk berpikir jernih dalam membedakan yang benar dan yang salah.

Semua ini, patut disadari, dijejalkan ke ruang publik untuk menggoyahkan pondasi berpikir kita. Lebih parah lagi, jebakan itu bertujuan memelihara polarisasi masyarakat. Dengan begitu, kepentingan sempit segelintir kelompok bisa terlindungi. Polarisasi yang sudah terbentuk lalu dipicu emosinya. Semua ini dilakukan hanya untuk menyikapi suatu fakta yang sebenarnya jauh dari kepentingan dan kebaikan bersama.

Menariknya, para pelaku yang menunggangi fenomena post-truth ini biasanya tak jauh-jauh dari kita. Mereka justru bagian dari masyarakat itu sendiri, karena komunitas sekitar adalah target kebohongannya. Di antara mereka ada figur terpandang, kaum elit, pebisnis, sampai oknum politisi. Rekam jejaknya seringkali tak bagus. Karakter yang umum? Haus kuasa dan koruptif.

Nah, sifat haus kuasa dan koruptif itulah yang coba mereka tutupi. Caranya dengan membangun narasi sesat, hoaks, dan disinformasi, lalu menyemburkannya ke publik. Dengan serangan naratif itu, mereka berusaha membantah atau mengaburkan fakta dan data yang sudah jelas-jelas mencitrakan mereka buruk. Tak jarang, orang-orang bayaran dikerahkan untuk berdebat dan menarasikan pembelaan.

Semua dilakukan dengan sadar, bahkan terencana. Asumsinya sederhana sekaligus merendahkan: banyak orang di masyarakat masih dianggap bodoh dan mudah dibohongi. Dengan menyebarkan hoaks secara masif dan terus-menerus, mereka berharap bisa merusak kualitas berpikir banyak komunitas.


Halaman:

Komentar