Bandung 1955: Saat Dunia Ketiga Menolak Jadi Bidak dalam Perang Dingin

- Kamis, 20 November 2025 | 09:10 WIB
Bandung 1955: Saat Dunia Ketiga Menolak Jadi Bidak dalam Perang Dingin

Pasca Perang Dunia II, dunia terbelah. Dua kutub kekuatan saling berhadapan: Blok Barat pimpinan Amerika Serikat dan Blok Timur di bawah kendali Uni Soviet. Di tengah tarik-menarik dua raksasa ini, bangsa-bangsa yang baru saja merdeka di Asia dan Afrika mencari celah untuk bernapas lega. Mereka tak ingin terjebak dalam konflik ideologi yang bukan perang mereka.

Maka, pada 18-24 April 1955, Bandung menjadi saksi sejarah. Konferensi Asia Afrika bukan sekadar pertemuan diplomatik biasa. Lebih dari itu, ini adalah deklarasi politik kolektif tentang kemandirian, solidaritas, dan penolakan terhadap kolonialisme. Bayangkan, 29 negara dari dua benua berkumpul – dari raksasa seperti India, Tiongkok, hingga negara-negara yang lebih kecil. Mereka menyatakan satu hal: "Kami ada, dan suara kami penting."

Narasi yang menyebut KAA 1955 sebagai fondasi Gerakan Non-Blok memang tepat. Tapi ini bukan hanya catatan sejarah belaka. Argumen tentang lahirnya "Kekuatan Ketiga" di panggung dunia punya dasar yang kuat. KAA dan GNB berhasil menggeser peta geopolitik dari bipolaritas yang kaku menuju multipolaritas yang lebih cair.

Deklarasi yang Menjadi Jiwa

Sebelum Bandung, dunia yang baru merdeka sering dipandang sekadar sebagai objek, wilayah rebutan dalam Perang Dingin. KAA membalik narasi itu sepenuhnya. Konferensi ini adalah momentum psikologis. Sebuah kelahiran jiwa.

Dasasila Bandung menjadi manifestasinya. Prinsip-prinsip seperti penghormatan kedaulatan, kesetaraan ras dan bangsa, serta pantang campur tangan urusan dalam negeri negara lain – ini semua adalah senjata ideologis melawan kolonialisme. Inilah fondasi yang kemudian diinstitusionalkan menjadi Gerakan Non-Blok enam tahun kemudian di Beograd.

Para pendirinya – Soekarno, Nehru, Nasser, Nkrumah, Tito – adalah tokoh-tokoh yang sudah aktif dalam KAA. Mereka membawa api dari Bandung dan menyalakannya menjadi organisasi global yang bertahan hingga kini.

Mengubah Peta Kekuasaan Global

Klaim bahwa KAA mengubah geopolitik global bukanlah berlebihan. Dampaknya terasa dalam beberapa hal penting.

Pertama, akselerasi dekolonisasi. KAA menjadi pengeras suara global untuk perjuangan kemerdekaan. Dukungan moral dan politik dari peserta KAA kepada negara yang masih terjajah – seperti Algeria dan Vietnam – menciptakan tekanan internasional yang tak terbendung bagi kekuatan kolonial Eropa.

Kedua, arena Perang Dingin melebar. Jika sebelumnya fokusnya Eropa, KAA memaksa AS dan Uni Soviet memperluas pengaruh ke Dunia Ketiga. Diplomasi global berubah dari pertarungan dua kutub menjadi permainan tiga poros. Negara-negara Non-Blok punya ruang untuk bermain, memanfaatkan bantuan dari kedua blok tanpa harus berkomitmen secara ideologis.

Ketiga, reformasi tata kelola global. Kekuatan Ketiga ini tak hanya bermain dalam aturan yang ada, tapi berusaha mengubahnya. Tekanan dari negara Non-Blok berperan penting dalam reformasi PBB dan pembentukan lembaga internasional baru. Mereka mendorong resolusi anti-kolonial dan hak menentukan nasib sendiri.


Halaman:

Komentar