Namun begitu, harus diakui "Kekuatan Ketiga" ini tak pernah benar-benar monolitik. Perpecahan internal seperti konflik India-Tiongkok 1962 dan perbedaan kepentingan nasional sering melemahkan kohesi GNB. Setelah Perang Dingin berakhir, relevansi GNB pun sempat dipertanyakan.
Tapi justru di sinilah warisan Bandung kembali bersinar. Dalam dunia yang kini terpolarisasi antara AS dan Tiongkok, prinsip-prinsip Dasasila Bandung – terutama penghormatan kedaulatan dan tidak campur tangan – kembali aktual. Bagi banyak negara di Global South, semangat Bandung kini tentang menolak hegemoni baru dan memastikan hak menentukan jalur pembangunan sendiri.
Akar Sejarah yang Kuat
Latar belakang KAA 1955 tak bisa dipisahkan dari gelombang dekolonisasi pasca-Perang Dunia II. India merdeka 1947, Indonesia 1945, Myanmar 1948. Di Afrika, gelombang serupa mulai bergulir. Tapi kemerdekaan politik ini sering dibayangi ancaman neo-kolonialisme dan tarikan Perang Dingin.
Beberapa faktor kunci memicu lahirnya KAA. Ada keinginan kuat untuk tidak terlibat dalam persaingan bipolar yang dianggap mengikis kedaulatan. Ada pula semangat solidaritas Asia-Afrika – persamaan nasib sebagai bangsa yang pernah dijajah menciptakan ikatan emosional dan politik yang kuat.
Konflik regional seperti Perang Korea dan krisis Indochina menambah urgensi bagi negara Asia-Afrika mencari solusi damai di luar kerangka Blok Barat dan Timur.
Gagasan KAA sendiri dicetuskan dalam Pertemuan Kolombo oleh lima perdana menteri visioner: Indonesia (Ali Sastroamidjojo), India (Jawaharlal Nehru), Pakistan (Mohammed Ali Bogra), Burma/UMyanmar (U Nu), dan Sri Lanka (Sir John Kotelawala). Mereka melihat perlunya forum lebih besar untuk menyatukan suara Dunia Ketiga.
Keberagaman peserta KAA sungguh mengesankan. Dari negara republik, monarki, sosialis, hingga kapitalis – semua hadir. Ini menunjukkan persatuan bisa dibangun di atas perbedaan. Tokoh-tokoh legendaris seperti Soekarno, Nehru, Zhou Enlai, Gamal Abdel Nasser, dan Ho Chi Minh memberikan pidato yang membakar semangat.
Pidato pembukaan Soekarno, "Let a New Asia and a New Africa be Born", menekankan semangat yang kemudian terangkum dalam Dasasila Bandung. Sepuluh prinsip inilah yang menjadi inti KAA dan diadopsi GNB:
1. Menghormati hak-hak dasar manusia sesuai Piagam PBB
2. Menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa
3. Mengakui persamaan semua ras dan bangsa
4. Tidak campur tangan urusan dalam negeri negara lain
5. Menghormati hak setiap bangsa untuk mempertahankan diri
6. Tidak menggunakan pertahanan kolektif untuk kepentingan negara besar
7. Tidak melakukan ancaman agresi terhadap negara lain
8. Menyelesaikan perselisihan internasional dengan cara damai
9. Memajukan kepentingan bersama dan kerja sama
10. Menghormati hukum dan kewajiban internasional
Warisan KAA tetap relevan. Bukan hanya sebagai catatan masa lalu, tapi sebagai lensa untuk memahami pergolakan geopolitik abad ke-21. Semangat Bandung mengajarkan bahwa negara kecil dan menengah punya agency, bahwa suara mereka penting, dan solidaritas bisa menjadi alat ampuh menantang status quo.
Artikel Terkait
Awan Panas Semeru Lukai Tiga Warga, Kondisih Korban Masih Dipantau Ketat
Kebakaran Picu Evakuasi Dadakan di Tengah KTT Iklim COP30 Brasil
Kobaran Api Kacaukan Konferensi Iklim COP30 di Brasil
Kaesang Pacu Kader PSI Sulteng: Kita Tahu Cara Jadi Juara