Biang Kerusuhan di Negeri Ini

- Minggu, 31 Agustus 2025 | 06:45 WIB
Biang Kerusuhan di Negeri Ini

Ketika publik tak lagi percaya, maka setiap langkah represif justru menjadi bahan bakar kemarahan. Gas air mata tidak lagi membuat bubar, tetapi justru mengundang solidaritas.


Di era digital, polisi juga berhadapan dengan dinamika baru. Informasi, video, dan narasi perlawanan tersebar begitu cepat, membentuk "kerumunan cair" yang sulit dikendalikan dengan pendekatan tradisional. Narasi hoaks, framing provokatif, dan agitasi daring menambah kompleksitas kerusuhan.


Dugaan Peran Asing dan Oligarki


Jika berkaca pada sejarah politik Indonesia, gejolak sosial kerap tidak sepenuhnya lahir dari dinamika internal rakyat. Ada faktor eksternal yang ikut bermain, baik berupa campur tangan asing maupun manuver oligarki dalam negeri.


Kerusuhan dan aksi anarkis bisa saja menjadi produk dari permainan geopolitik asing yang tidak menginginkan Indonesia stabil. Begitu pula oligarki dalam negeri yang kepentingan bisnisnya terusik, mereka diduga menunggangi keresahan rakyat dengan bermain halus.


Keduanya tak tampil di depan, melainkan menggunakan tangan-tangan lain: organisasi, ormas, bahkan kelompok pemuda. Ketidakpuasan rakyat ditunggangi, sehingga protes yang seharusnya konstruktif berubah menjadi anarkis.


Bukan dengan Gas Air Mata


Penyelesaian gejolak sosial di Indonesia tidak cukup dengan menambah aparat di jalanan.


Penguatan intelijen untuk mendeteksi campur tangan asing sejak dini. Pembatasan dominasi oligarki agar tidak mudah memainkan isu.


Dialog nasional untuk meredam amarah rakyat secara substantif, bukan sekadar dengan pendekatan keamanan.


Seperti kata Bung Karno: "Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah. Perjuanganmu lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri." Kini, perjuangan itu semakin kompleks, karena musuh tidak hanya datang dari dalam, tetapi juga dari luar negeri dengan wajah diplomasi dan ekonomi.


Penutup


Kerusuhan yang meluas ini alarm keras bagi negara. Tanpa koreksi kebijakan dan perbaikan pendekatan, potensi gelombang susulan sangat mungkin terjadi.


Sejarah Indonesia membuktikan, ketika rakyat kehilangan kepercayaan, simbol kekuasaanlah yang pertama kali jadi sasaran.


Keadilan, empati, dan keberpihakan nyata kepada rakyat adalah satu-satunya cara memulihkan legitimasi yang kini runtuh.



*(Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Kebon Jambu Babakan Ciwaringin Cirebon, dan Ketua LTN PCNU Majalengka)


Halaman:

Komentar