Keterlibatannya di dunia sosial tak berhenti di sana. Sejak 1993 hingga sekarang, Yusuf dikenal sebagai Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) membantu masyarakat kecil mengenyam pendidikan dan akses kesehatan serta membantu perjuangan masyarakat marginal lainnya seperti korban penggusuran, UMKM dan lain-lain.
Saat gelombang reformasi 1998 membesar, Yusuf ada di barisan depan. Ia ikut mendobrak pintu-pintu kekuasaan Orde Baru. Namun tak seperti banyak aktivis 98 yang kini nyaman dalam kekuasaan, Yusuf memilih jalan kritis. Ia menjadi pengingat bahwa perjuangan belum usai.
“Reformasi itu baru pintu gerbang. Isinya belum kita bangun. Korupsi masih parah, rakyat masih miskin, dan elite makin jauh dari rakyat. Kita harus terus bicara,” ujarnya.
Dan benar saja, Yusuf selalu menjawab WhatsApp dengan cepat. Tak jarang, ia menelepon balik, dan bicara lama. Kadang dengan suara parau karena habis mengisi diskusi daring atau baru pulang dari aksi sosial.
Yusuf Blegur adalah manusia jembatan—yang merangkul, bukan memukul. Ia dididik oleh Taufik Kiemas, menjadi penjaga warisan Bung Karno, tapi juga berdiri bersama Habib Rizieq dan umat Islam yang terpinggirkan. Ia tidak melihat ideologi sebagai tembok, melainkan sebagai kendaraan yang harus digunakan untuk mengantarkan bangsa ini menuju keadilan.
Sebagian orang menyebutnya kontroversial. Tapi bagi mereka yang mengenalnya, Yusuf adalah cermin dari semangat asli Indonesia: beragam tapi bersatu, keras dalam prinsip, hangat dalam pergaulan.
“Yang penting bukan dari mana kau berasal, tapi kau berjuang untuk siapa,” pungkas Yusuf dalam salah satu catatan reflektifnya yang dibagikan ke berbagai grup WhatsApp aktivis.
Sumber: suaranasional
Foto: Yusuf Blegur (IST)
Artikel Terkait
Anak Riza Chalid Berontak di Penjara: Saya Sakit, Pindahkan Saya ke Sel yang Layak!
Bahlil vs Natalius Pigai: Ini Alasan Mereka Harus Dipecat!
Bahlil Dituding Jadi Calo Proyek Pertamina, Benarkah?
Agung Sedayu Group Sogok Rakyat Banten, Ada Apa dengan Kasus Korupsi Pagar Laut?