Mengapa Islam Selalu Dianggap Ancaman oleh Elite Indonesia?
Fakta menarik: kelompok elite ini konon hanya sekitar 20% dari total penduduk.
Benz Jono Hartono
Praktisi Media Massa, Vice Director Confederation ASEAN Journalist (CAJ) PWI Pusat, Executive Director HIAWATHA Institute
Ini paradoks yang nyata. Di Indonesia, Islam adalah keyakinan mayoritas. Tapi dalam banyak hal, perlakuan terhadapnya kerap mirip seperti terhadap kelompok minoritas yang dianggap bermasalah. Kehadirannya tercatat rapi dalam data kependudukan, namun seringkali kabur atau bahkan hilang dalam perumusan kebijakan. Ia hidup dan berdenyut dalam keseharian masyarakat, tapi selalu diwarnai curiga dalam narasi yang dibangun kalangan atas. Lalu, apa sebenarnya yang terjadi? Mengapa keyakinan yang dianut sebagian besar rakyat ini terus dipandang sebagai ancaman oleh segelintir elite yang jumlahnya tak seberapa?
Jawabannya, tentu saja, tidak sesederhana urusan agama semata. Soal kekuasaan, kontrol atas sumber daya, dan siapa yang mendominasi wacana publik memainkan peran yang jauh lebih besar.
Mayoritas Tanpa Kendali
Kalau kita tilik sejarah pascakemerdekaan, ada sebuah paradoks yang terus berulang. Umat Islam memang mayoritas secara jumlah. Tapi coba lihat posisi mereka dalam struktur yang benar-benar strategis. Di ranah ekonomi, kebijakan, media massa, hingga pembentukan opini publik, pengaruh mereka justru terasa minor. Kekuasaan yang riil dan efektif nyatanya masih terpusat pada kelompok elite yang kecil. Mereka adalah gabungan dari oligarki politik, pemilik modal besar, dan segelintir intelektual yang punya akses kuat ke jaringan global serta alat-alat negara.
Dalam konfigurasi kekuasaan seperti ini, Islam tidak lagi dilihat semata sebagai persoalan iman. Ia dilihat sebagai sebuah potensi kekuatan sosial-politik yang massif. Dan bagi kalangan elite, setiap potensi kekuatan yang tidak bisa mereka kendalikan sepenuhnya, akan selalu dibaca sebagai ancaman. Titik.
Nilai-Nilai yang Mengusik Kenyamanan
Di sisi lain, Islam membawa seperangkat nilai moral yang jelas. Coba bayangkan jika nilai-nilai itu diterapkan secara konsekuen di ruang publik. Keadilan distributif, larangan menumpuk kekayaan secara eksploitatif, keberpihakan pada kaum lemah, plus tuntutan agar kekuasaan dijalankan dengan amanah dan pertanggungjawaban.
Bagi elite yang hidup dari rente, konsesi, dan berbagai kompromi, nilai-nilai semacam ini bukan cuma nasihat bagus. Ini adalah potensi delegitimasi terhadap cara mereka berkuasa. Maka, strateginya pun jelas: Islam harus direduksi. Dikecilkan maknanya menjadi sekadar ritual personal, dipersempit ruang geraknya ke dalam masjid, dan dijauhkan dari diskursus publik.
Namun begitu, ketika ia mencoba melangkah keluar membawa kritik sosial, labelnya sudah siap menunggu.
“Radikal”, “intoleran”, atau “anti-kebinekaan”.
Artikel Terkait
Harta Orang Lain Itu Suci: Emosi Bisa Berujung Rugi Jutaan Rupiah
Siklus Sempurna Jimmy Hantu: Dari Sisa Makanan Gratis ke Telur dan Pupuk
Kantor Bupati hingga Rumah Dinas Digeledah KPK, Fee Proyek Lampung Tengah Tembus 20%
Prabowo Tegaskan Dana Otsus Papua Rp 10 Triliun: Jangan untuk Jalan-Jalan ke Luar Negeri