Elite dan Ketakutan Terselubung terhadap Islam di Indonesia

- Selasa, 16 Desember 2025 | 11:50 WIB
Elite dan Ketakutan Terselubung terhadap Islam di Indonesia

Ketakutan yang Diciptakan

Percayalah, narasi ancaman Islam ini tidak lahir dengan sendirinya. Ia diproduksi. Media mainstream, kurikulum pendidikan, dan kebijakan keamanan seringkali bergerak dalam irama yang sama, secara halus menciptakan rasa takut terhadap ekspresi politik umat. Dengan begitu, elite mendapatkan legitimasi untuk melakukan pengawasan ketat, pembatasan, bahkan kriminalisasi.

Yang ironis, apa yang disebut sebagai "ancaman" itu kerap kali justru adalah aspirasi paling mendasar rakyat: keadilan ekonomi, kedaulatan nasional, dan pemerintahan yang bersih. Tapi saat tuntutan itu dibalut dengan identitas keislaman, ia dengan mudah berubah menjadi stigma negatif.

Kekuatan 20% yang Menentukan

Angka 20% itu bukan sekadar statistik. Mereka adalah kelompok yang menentukan arah. Mereka yang menulis aturan main, mengendalikan lalu lintas modal, dan membentuk apa yang harus dipikirkan publik. Dalam struktur seperti ini, mayoritas rakyat termasuk di dalamnya umat Islam lebih sering jadi objek kebijakan. Bukan subjek yang aktif menulis sejarahnya sendiri.

Pada dasarnya, ketakutan elite terhadap Islam adalah ketakutan akan hilangnya monopoli. Monopoli dalam menafsirkan segala hal dan monopoli atas kekuasaan. Sebab, Islam sebagai sistem nilai dan solidaritas punya kemampuan menggerakkan massa yang luas. Dan hal semacam itu selalu tidak nyaman bagi kekuasaan yang ingin tetap eksklusif.

Lalu, Ancaman atau Harapan?

Sebenarnya, Islam bukan ancaman bagi Indonesia. Yang merasa terancam adalah ketimpangan yang sudah mapan, hak istimewa yang tak ingin diganggu gugat, dan narasi tunggal yang ingin terus berkuasa. Selama Islam dipahami sebagai sumber etika publik dan pembela keadilan sosial, ia akan selalu dicurigai oleh mereka yang justru hidup dari ketidakadilan itu.

Maka, persoalan utamanya bukan terletak pada Islam. Tapi pada keberanian kita semua untuk bertanya jujur:

Indonesia ini milik siapa, sih?

Milik mayoritas yang bekerja keras dan berdoa, atau minoritas kecil yang mengatur segalanya dan menikmati hasilnya?

Sejarah nanti yang akan memberi jawaban akhir. Tapi satu hal yang pasti, mayoritas yang terus-menerus ditekan tidak akan diam selamanya. Saat kesadaran itu benar-benar bangkit, label “ancaman” akan kehilangan relevansinya. Yang tersisa dan menggema hanyalah tuntutan akan keadilan.

Benz Jono Hartono
Praktisi Media Massa, Vice Director Confederation ASEAN Journalist (CAJ) PWI Pusat, Executive Director HIAWATHA Institute, Jakarta


Halaman:

Komentar