Nasib Buruh Sritex Tertindas Hukum dan Kekuasaan

- Jumat, 30 Mei 2025 | 05:45 WIB
Nasib Buruh Sritex Tertindas Hukum dan Kekuasaan


DUA bulan lebih sejak vonis pailit dijatuhkan kepada PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) oleh Pengadilan Niaga Semarang pada 1 Maret 2025, nyaris tak ada kabar baik bagi ribuan mantan buruh perusahaan raksasa tekstil itu. Alih-alih memperoleh kejelasan tentang hak-hak mereka yang jumlahnya mencapai Rp 337 miliar, para pekerja justru terjebak dalam labirin birokrasi dan konflik hukum yang semakin kusut.

Sementara media memberitakan skandal korupsi para eks petinggi perusahaan, nasib para buruh seperti dilupakan. Dalam kisruh antara hukum pidana dan hukum niaga, buruh sebagai pihak paling rentan kembali menjadi korban. Sritex bukan sekadar perusahaan tekstil biasa. Dalam masa jayanya, perusahaan ini menjadi simbol dominasi Indonesia di sektor tekstil global. Pabriknya berdiri megah di Sukoharjo, Jawa Tengah, dengan ribuan karyawan yang menghidupi jutaan anggota keluarga.

Di balik megahnya industri ini, ternyata tersembunyi pengelolaan keuangan yang rapuh dan diduga sarat praktik busuk. Ketika akhirnya Sritex runtuh, yang tertinggal hanyalah gedung kosong, mesin-mesin senyap, dan ribuan manusia yang kehilangan pekerjaan dan hak atas kehidupan yang layak. Perkara kepailitan Sritex tidak berdiri sendiri. Di sisi lain, kasus korupsi yang melibatkan eks petinggi Sritex membuka tabir bahwa kebangkrutan ini bukan semata soal tekanan ekonomi global, melainkan juga persoalan moral dan integritas manajemen.

Ketika korupsi menyelinap ke dalam manajemen perusahaan, yang menjadi korban bukan hanya pemegang saham atau negara, tetapi juga para buruh yang menggantungkan hidupnya dari upah bulanan. Ironisnya, meski sudah dinyatakan pailit, proses pembayaran utang dalam kepailitan justru tidak secara otomatis berpihak pada buruh. Dalam skema hukum kepailitan Indonesia, buruh memang masuk dalam daftar kreditur preferen, artinya mereka memiliki hak yang lebih dulu dibanding kreditur konkuren. Namun, kenyataan di lapangan jauh dari janji itu.

Proses likuidasi aset Sritex berjalan lambat. Komplikasi hukum semakin menumpuk dengan munculnya penyitaan aset dalam rangka kasus pidana korupsi. Negara, melalui Kejaksaan, mengambil alih sebagian aset Sritex sebagai barang bukti tindak pidana, padahal aset-aset itu semestinya diprioritaskan untuk menyelesaikan utang kepada buruh dan kreditur lainnya. Inilah titik rawan dari sistem hukum kita: ketika jalur pidana dan perdata bertabrakan, siapa yang paling dirugikan?

Dalam banyak kasus, jawabannya selalu sama; kaum lemah, rakyat kecil, atau dalam hal ini, para buruh. Negara hadir untuk menuntut keadilan atas nama hukum, tetapi abai terhadap keadilan sosial yang semestinya lebih mendasar. Ketika jaksa menyita aset demi membuktikan dugaan korupsi, ia boleh jadi telah menyelamatkan marwah hukum pidana, namun di saat yang sama membiarkan ribuan buruh terlunta tanpa kepastian nafkah.

Alih-alih bersaing, sistem pidana dan kepailitan mestinya saling berkoordinasi. Prinsip keadilan restoratif yang kini banyak digembar-gemborkan seharusnya juga menyentuh aspek korporasi. Jika benar mantan petinggi Sritex melakukan korupsi, maka pemulihan keuangan seharusnya tidak hanya berhenti pada penyitaan dan penghukuman personal, tetapi juga pada upaya mengembalikan hak-hak buruh yang selama ini dirampas.

Hak pekerja bukan sekadar angka dalam neraca utang, melainkan bentuk keadilan konkret yang mestinya diprioritaskan negara. Ahli hukum kepailitan sudah mengingatkan, bahwa penyelesaian utang buruh harus didahulukan. Namun, dalam praktiknya, suara ini kalah oleh hiruk-pikuk politik penegakan hukum pidana. Padahal, dalam semangat konstitusi dan nilai-nilai kemanusiaan, negara berkewajiban memberikan perlindungan kepada warga negara yang paling rentan.

Lalu siapa lagi yang lebih rentan daripada mantan buruh yang kehilangan pekerjaan, tanpa pesangon, dan menghadapi masa depan yang tak pasti? Sudah saatnya pemerintah mengambil sikap. Tidak cukup hanya membiarkan kurator bekerja sendiri dalam proses kepailitan. Negara harus turun tangan aktif mengawasi proses likuidasi dan memastikan hak-hak buruh tidak dikesampingkan. Jika perlu, dibuat skema pengembalian hak buruh melalui dana talangan yang kemudian dapat diganti setelah aset terjual.

Negara pernah melakukan hal serupa pada penyelamatan sektor perbankan melalui BLBI, lalu mengapa tidak bisa melakukan hal yang sama untuk sektor tenaga kerja? Kasus Sritex bisa menjadi preseden buruk jika dibiarkan. Jika buruh-buruh Sritex akhirnya tidak mendapatkan hak mereka, ini akan menciptakan ketidakpercayaan yang mendalam pada sistem hukum dan perlindungan ketenagakerjaan di Indonesia.

Para investor dan pengusaha mungkin tetap datang dan pergi, tetapi para pekerja yang menjadi tulang punggung ekonomi nasional harus mendapat jaminan perlindungan yang nyata. Jika tidak, kita akan kembali menyaksikan episode menyakitkan: buruh digusur dari sejarah, hukum tunduk pada kekuasaan, dan keadilan tinggal jargon di pidato pejabat. Tak hanya itu, pemerintah juga perlu mengevaluasi ulang tumpang tindih kewenangan dalam penanganan kasus-kasus korporasi.

Sudah terlalu sering terjadi bahwa lembaga penegak hukum saling berebut aset hasil kejahatan, tanpa mempertimbangkan korban riil dari kejahatan tersebut. Dalam sistem yang ideal, mekanisme satu pintu perlu dibentuk untuk menjamin bahwa semua proses baik pidana, perdata, maupun kepailitan terkoordinasi dan berpihak pada korban. Dalam konteks Sritex, para buruh adalah korban yang sesungguhnya. Mereka bekerja keras, membangun perusahaan dari bawah, namun justru dikhianati oleh sistem yang seharusnya melindungi mereka.

Sudah waktunya kita bertanya lebih keras: untuk siapa hukum ini bekerja? Apakah hanya untuk negara yang ingin menunjukkan taringnya terhadap korupsi, atau untuk rakyat yang setiap hari berjuang demi sesuap nasi? Kasus Sritex adalah cermin buram wajah keadilan di negeri ini. Ketika raksasa tekstil itu runtuh, bukan hanya mesin yang berhenti berputar, tapi juga nasib para buruh yang ikut tenggelam dalam puing-puing perusahaan.

Dalam kebangkrutan korporasi, semestinya tidak ada yang lebih penting daripada memulihkan martabat manusia yang paling terdampak. Kini, semua mata tertuju pada langkah negara selanjutnya. Apakah akan terus berpaling dan bersembunyi di balik prosedur hukum, atau memilih hadir dengan keberanian moral untuk berpihak pada mereka yang tak lagi punya suara? Hak buruh bukanlah belas kasihan, melainkan keadilan yang seharusnya ditegakkan. Sebelum terlalu terlambat.

Oleh: T.H. Hari Sucahyo
Penulis adalah Peminat bidang Sosial, Politik, dan Humaniora, Penggagas Lingkar Studi Adiluhung dan Kelompok Studi Pusaka AgroPol 
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan MURIANETWORK.COM terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi MURIANETWORK.COM akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

Komentar