Kedaulatan Nurani dalam Revolusi Sosial: Rakyat sebagai Subjek, Bukan Massa
penulis : Saleh Hidayat
– anggota “Diskusi Reboan” yang difasilitasi Indonesian Democracy Monitoring – InDemo – Jakarta – salah satu pendiri “Badan Koordinasi Mahasiswa se-Bandung Raya” – Bakor-Bandung 1988
Dalam narasi sejarah kita yang kerap maskulin dan militeristik, nama Sutan Syahrir acapkali tenggelam. Ia tak tampil sebagai figur heroik lengkap dengan senjata, barisan, atau teriakan massa yang menggelegar. Memang, Syahrir tak pernah menawarkan cetak biru yang kaku. Baginya, manusia bukanlah komponen mesin yang bisa direkayasa seenaknya dari luar. Mereka adalah organisme hidup, punya jiwa, kehendak, dan kemampuan untuk tumbuh dari dalam.
Pemikirannya berpijak pada konsep élan vital dari Henri Bergson. Singkatnya, kehidupan itu arus energi kreatif yang terus bergerak dan menciptakan bentuknya sendiri. Bukan benda mati. Dari sini, akar gagasan politiknya bermula. Bagi Syahrir, politik bukan soal mengerahkan massa secara buta. Ini soal pendewasaan kemanusiaan. Kemerdekaan 1945, baginya, cuma pintu masuk belaka.
Revolusi yang sesungguhnya adalah revolusi sosial. Sebuah proses panjang dimana rakyat melepaskan mentalitas budak warisan kolonial dan feodal, lalu bertumbuh jadi jiwa-jiwa merdeka yang bermartabat. Ini bukan cuma ganti struktur pemerintahan. Lebih dalam lagi: mengganti cara orang Indonesia memandang dirinya sendiri.
Dalam pamflet legendarisnya, Perjuangan Kita, Syahrir menegaskan musuh terbesar justru ada di dalam kepala: fasisme dan feodalisme yang bersarang di pikiran. Revolusi sosial adalah pembersihan mental. Pembebasan dari mentalitas budak menuju manusia yang sanggup berpikir kritis dan mandiri. Makanya, ia menolak revolusi yang cuma mengandalkan ledakan emosi dan kebencian.
Di sisi lain, Syahrir punya cara pandang unik tentang pengetahuan dan kesadaran. Ia paham, kebenaran politik bukan monopoli elite atau partai. Kesadaran itu tersebar secara horizontal di kehidupan sehari-hari rakyat. Mirip konsep subaltern Gramsci atau rhizome-nya Deleuze jaringan akar rumput yang non-hierarkis, menghubungkan titik mana pun dengan titik lain. Kebenaran lahir dari praktik sosial, bukan dari podium pidato yang menggema.
Rakyat punya mata batinnya sendiri. Mereka punya ruang pendidikan hidup yang terbentuk lewat interaksi keseharian. Inilah yang ia sebut state of mind networking, jaringan kesadaran yang muncul secara alami.
Dari sini, kita bisa lihat perbedaan mendasar antara persatuan dan solidaritas. Persatuan yang mekanik sering dibangun lewat keseragaman dan paksaan. Rapuh. Butuh aparatus kekerasan untuk bertahan. Sebaliknya, solidaritas organik lahir dari individu-individu yang sadar dan merdeka, saling bergantung secara sukarela.
Mobilisasi melihat rakyat sebagai massa, digiring seperti ternak oleh orator ulung. Organisasi ala Syahrir berbeda. Itu adalah gerak rakyat yang muncul karena mereka paham kepentingannya sendiri, terhubung secara horizontal lewat jaringan kesadaran tadi.
Kontradiksi ini benar-benar bertolak belakang dengan gaya figur-figur tua yang integralistik dan agitatif. Syahrir menginginkan kerja sama sukarela antarindividu yang sadar. Kaum demagog menginginkan peleburan massa di bawah satu komando seringkali mematikan nalar kritis. Bagi Syahrir, rakyat bukan objek yang harus diseret ke dalam ideologi. Mereka adalah subjek yang sudah punya navigasi moralnya sendiri.
Ia melihat, di akar rumput, rakyat punya mekanisme bertahan hidup yang tak bergantung pada negara. Kekuatan ini sudah bertahan ratusan tahun. Sementara elit sibuk berkuasa, rakyat tetap mempraktikkan gotong royong yang murni. Basis moralnya jauh lebih stabil ketimbang konstitusi yang mudah dikhianati.
Kerangka ini menaruh kepercayaan besar pada common man rakyat jelata, orang kebanyakan yang hidup dari kerja sehari-hari, tanpa kepentingan menindas sesama.
Artikel Terkait
Dua Dekade Berlalu, Warga Aceh Tetap Berziarah untuk Korban Tsunami 2004
Guru Besar IPDN Tuding Pilpres Langsung Sebagai Warisan Kolonial yang Tak Sesuai Jati Diri
Ketika Keluhan Terasa Berat, Coba Duduk di Kursi Orang Lain
Kucing Istana Dikawal Ketat, Korban Bencana Seribu Jiwa Terlupakan