Syahrir dan Revolusi Sosial: Ketika Rakyat Bukan Sekadar Massa yang Digerakkan

- Jumat, 26 Desember 2025 | 12:50 WIB
Syahrir dan Revolusi Sosial: Ketika Rakyat Bukan Sekadar Massa yang Digerakkan

Nah, di sini hubungannya dengan pemikiran Milovan Djilas jadi menarik. Intinya benturan antara moralitas organik rakyat dan amoralitas birokrasi kekuasaan.

Djilas bicara soal New Class, elit birokrasi yang membajak revolusi. Mereka klaim bertindak untuk rakyat, tapi praktiknya merampas kedaulatan si common man. Dalam sistem otoriter, rakyat kehilangan “hak untuk menjadi orang biasa” karena hidupnya dipolitisasi negara.

Hubungan ini bisa meledak saat krisis legitimasi total terjadi. Saat skandal moral, perpecahan elit, dan krisis ekonomi bertemu di satu titik. Kontrak sosial antara rakyat dan penguasa hangus terbakar. Aparat jadi bingung setia ke mana. Di titik rapuh inilah, tekanan dari bawah bisa meruntuhkan segalanya.

Eksploitasi atas nama rakyat oleh New Class menciptakan jurang ketidakpercayaan yang dalam. Kekuasaan mereka cenderung destruktif terhadap hukum, hanya untuk pertahankan posisi. Tapi kekuatan penyeimbang muncul ketika common man mulai sadar akan kemunafikan ini. Kesadaran yang sering dimulai dari kelompok intelektual seperti Syahrir yang menolak jadi bagian New Class dan memilih kembali ke sisi rakyat.

Common man inilah jangkar moral masyarakat. Kearifan mereka untuk bertahan hidup dan menjaga martabat jadi fondasi yang jauh lebih kokoh daripada bangunan negara yang rapuh oleh intrik. Di sini kritisisme Syahrir sejalan dengan peringatan Djilas: kekuasaan punya kecenderungan inheren untuk mengasingkan diri dari rakyat, membentuk kasta yang haus kontrol dan pada akhirnya bersifat merusak.

Bagi Syahrir, politik adalah alat untuk pendewasaan kemanusiaan. Negara cuma sarana sementara, bersifat transien. Ia tak boleh disakralkan. Negara harus tunduk pada kehidupan manusia, bukan sebaliknya.

Karena itu, Syahrir adalah penentang keras fasisme dan totalitarianisme. Di zaman yang memuja pemimpin besar dan slogan, ia justru bicara tentang pendidikan, rasionalitas, dan perdamaian. Ia takut, jika revolusi cuma andalkan kebencian atau nasionalisme buta, yang terjadi cuma pergantian penjajah: dari kulit putih ke tirani kulit cokelat.

Pada peringatan Proklamasi pertama, 17 Agustus 1946, ia menyatakan revolusi nasional telah selesai. Kini masuk babak baru: revolusi sosial.

Ia tak putus asa. Di tengah warisan kolonial yang membelenggu, Syahrir melihat sesuatu yang hidup: élan vital, semangat hidup Bergsonian. Semangat ini tak pernah padam di rakyat Indonesia. Sekalipun diperlakukan inferior, di dada setiap orang ada dorongan tak terbendung untuk hidup lebih baik. Dorongan ini lahir bukan karena perintah pemimpin atau slogan partai.

Rakyat menemukan kodratnya sendiri sebagai manusia yang berhak dihormati. Mereka tak menunggu komando dari atas. Mereka saling mengajar, menguatkan, membentuk jaringan batin yang tak kasat mata state of mind networking yang lahir dari keseharian. Di situlah revolusi sosial sejati berlangsung. Bukan di mimbar pidato, tapi di antara manusia biasa yang saling menjadi ruang pendidikan hidup.

Tanpa gembar-gembor, mereka berjalan menuju hari yang lebih berperikemanusiaan. Bung Kecil julukan untuk Syahrir tak perlu susun kerangka rumit. Pemikirannya sejalan dengan kekuatan yang sudah hidup di masyarakat. Gagasannya tak menyeret orang jadi kelompoknya, karena rakyat sudah punya panduan dan mata batin sendiri.

Hakikatnya, rakyat Indonesia cenderung eager, bersemangat dalam kerja sama. Di situlah bedanya. Revolusi adalah solidaritas, bukan persatuan yang dipaksa lewat demagogi. Kehendak rakyat adalah kekuatan masyarakat, bukan untuk digantikan.

Rakyat cuma ingin bisa hidup. Tidak menumpuk kekayaan, apalagi menindas pihak lain. Basis moral ini sudah teruji ratusan tahun. Ketika jargon fasis dan revolusi omong kosong bergemuruh, keutuhan masyarakat bertahan. Bukan karena negara atau tentara yang kuat.

Justru kekuasaan sering destruktif dan berada di tangan orang berbahaya. Masa transisi kadang terasa seperti keluar dari sarang serigala masuk ke kubangan buaya. Tapi sendi-sendi negara tetap bertahan karena satu hal: rakyatlah pemegang basis moral itu sendiri.


Halaman:

Komentar