Pesantren di Ujung Tanduk: UU Sisdiknas dan Ancaman di Balik Niat Baik

- Senin, 22 Desember 2025 | 13:06 WIB
Pesantren di Ujung Tanduk: UU Sisdiknas dan Ancaman di Balik Niat Baik

Narasi "ikhlas mengabdi" sering dijadikan tameng untuk membenarkan kondisi ini. Sungguh ironis. Keikhlasan bukan alasan bagi negara untuk lalai.

"Jika negara berani mengatur, negara juga wajib menjamin. Sertifikasi yang adil, tunjangan yang setara, dan perlindungan kerja yang manusiawi. Itu hak dasar mereka."

Digitalisasi dan Ruh Pesantren

Di era AI, digitalisasi jadi agenda wajib. Tapi bagi pesantren, teknologi bukan segalanya. Mereka hidup dari relasi khas: sanad keilmuan, keteladanan, dan kedekatan guru-murid. Hal-hal yang tak bisa digantikan algoritma.

Wacana dana abadi pesantren pun begitu. Dukungan negara penting, tapi prinsipnya harus jelas: non-intervensi. Mayoritas pesantren tumbuh dari swadaya masyarakat. Negara hadir untuk menopang, bukan mengendalikan. Jangan sampai niat membantu justru menggerus kemandirian yang jadi ruhnya.

Ekosistem yang Lebih Luas

Perbincangan tentang pendidikan keagamaan sering terjebak pada pesantren dan madrasah saja. Padahal, ekosistemnya jauh lebih luas dan beragam.

Ada ratusan ribu TPQ, TKQ, dan Madrasah Diniyah Takmiliyah yang berserakan hingga ke desa-desa terpencil. Di tingkat lanjut, ada Ma'had Aly yang statusnya sudah setara dengan pendidikan tinggi.

Jutaan anak belajar di sana. Dan sebagian besar, bertahan karena swadaya masyarakat. Keterlibatan negara? Masih sangat terbatas.

Mengabaikan fakta ini dalam revisi UU Sisdiknas sama saja mempersempit makna pendidikan nasional itu sendiri.

Di Persimpangan Jalan

Pada ujungnya, revisi UU Sisdiknas 2025 adalah soal pilihan. Mau dibawa ke mana arah pendidikan kita? Apakah mengejar kesetaraan yang adil, atau sekadar penyeragaman yang rapi secara administratif?

Konstitusi sudah jelas. Negara wajib mencerdaskan kehidupan bangsa, tanpa kecuali. Pesantren, madrasah, TPQ, hingga Ma'had Aly bukan pelengkap. Mereka adalah bagian inti dari sistem.

Kalau revisi ini gagal melihat realitas itu, yang terjadi nanti adalah keteraturan yang timpang. Rapih di dokumen, tapi pahit di tengah masyarakat. Dan kita semua akan menanggung risikonya.


Halaman:

Komentar