Diplomasi Terancam, Dunia Beralih dari Jaw-Jaw ke Senjata

- Sabtu, 20 Desember 2025 | 17:25 WIB
Diplomasi Terancam, Dunia Beralih dari Jaw-Jaw ke Senjata

Sayangnya, naluri diplomatik itu tergerus. Bukan cuma dalam retorika, tapi juga anggaran. Negara-negara Barat justru memotong investasi untuk "kekuatan lunak" memangkas bantuan asing dan menyusutkan jaringan diplomatik. Sumber daya dialihkan ke pertahanan.

Ini yang terjadi: tahun 2024 lalu, belanja militer global melonjak 9,4% ke rekor tertinggi menurut catatan Institut Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm. Sebaliknya, bantuan pembangunan resmi dari negara donor terkaya justru turun 9% di tahun yang sama, dan diprediksi turun lagi tahun ini.

Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) menyoroti hal mengkhawatirkan. "Untuk pertama kalinya dalam hampir 30 tahun, Prancis, Jerman, Inggris, dan Amerika Serikat memangkas Deplu mereka pada tahun 2024," bunyi laporannya.

Jika pemangkasan berlanjut di 2025, ini akan jadi pertama kalinya keempat negara itu memotong anggaran diplomatik dua tahun berturut-turut.

Korps diplomatik pun menyusut. Donald Trump memberi sinyal dengan memangkas pekerjaan di Departemen Luar Negeri AS. Belanda, Inggris, dan Uni Eropa juga memberi peringatan soal pemotongan staf diplomatik.

Analis khawatir. Ketika negara-negara industri mengabaikan diplomasi dan bantuan, lalu fokus membangun militer, kekosongan pengaruh itu akan diisi pihak lain. Rusia, Tiongkok, atau Turki bisa masuk, mengubah negara-negara di Afrika dan Asia yang dulunya bersahabat, menjadi melawan Barat. Dunia akan jadi tempat yang jauh lebih berbahaya.

Jika prioritas geopolitik dijalankan seperti pasar, trennya jelas. Banyak pemimpin memutuskan waktunya "menjual perdamaian dan membeli perang".

Lalu, bagaimana dengan perdamaian saat ini? Nyatanya, perang belum berakhir.

Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio menanggapi tuntutan terbaru Vladimir Putin usai konferensi pers maraton sang presiden Rusia. Rubio menekankan, perdamaian bergantung pada kesepakatan kedua belah pihak bukan retorika. AS, katanya, tidak akan memaksakan kesepakatan dan menolak negosiasi di depan publik.

"Hanya Washington yang dapat melibatkan Kyiv dan Moskow untuk menguji apakah perdamaian mungkin terjadi," begitu kira-kira poinnya.

Rubio meragukan klaim perdamaian Putin. Ia bicara soal "kata-kata vs tindakan".

Pada akhirnya, mediasi AS untuk perang Rusia-Ukraina masih tertunda. Kedua pihak belum juga bersepakat. Dunia selalu membuktikan: memulai perang itu mudah, mengakhirinya sangatlah sulit.

War not over. Perang belum berakhir. Perdamaian tertunda lagi. Dan posisi Rusia, untuk saat ini, masih di atas angin untuk menolak syarat-syarat perdamaian.


Halaman:

Komentar