Lalu, di mana posisi etika dan moralitas? Dalam konteks ini, seringkali ia bukan prinsip normatif yang mandiri. Etika justru menjadi alat legitimasi bagi yang berkuasa. Yang kuat membenarkan diri melalui rumusan etika yang sesuai, sementara masyarakat menerimanya karena sudah terbiasa berkompromi. Etika yang berlaku akhirnya adalah etika kekuasaan, bukan etika yang berpijak pada keadilan substantif.
Inilah yang disebut imanensi dalam kebudayaan: nilai dan norma dianggap sebagai bagian tak terpisahkan, seperti hukum alam yang tak bisa diubah. Menolaknya dianggap tidak realistis, bahkan berbahaya. Sebaliknya, transendensi adalah usaha sadar untuk melampaui batas-batas yang dianggap given itu. Ia muncul dalam ekspresi kritis atau upaya membongkar norma absolut. Tapi dalam masyarakat yang terbiasa kompromi, transendensi sering divonis sebagai subversif, pemberontakan, atau ancaman. Ekspresi kritis dianggap mengucilkan diri, bahkan diisolasi secara sosial.
Ketimpangan juga bisa dilihat dari kacamata Amartya Sen. Dalam Inequality Reexamined (1992), ia menekankan bahwa ketimpangan sejati bukan cuma soal pendapatan, tapi pada capability kemampuan individu untuk mencapai kehidupan yang mereka nilai. Di Indonesia, inertia sosial dan etika kekuasaan membatasi kapabilitas masyarakat. Pembangunan pun seringkali tak menghasilkan kebebasan yang substantif.
Lantas, apa yang bisa dilakukan? Hegemoni mengakar karena kebenaran menjadi produk kekuasaan yang dilegitimasi etika dominan. Advokasi harus mengganggu jaringan ini secara sistematis. Tindakan advokasi dalam kerjasama sosial bisa menjembatani berbagai pihak, menciptakan prinsip-prinsip alternatif yang berpijak pada keadilan. Misalnya dengan memanfaatkan seni, media komunitas, atau forum publik untuk menyoroti inkonsistensi antara harmoni semu dengan realitas penderitaan. Dengan begitu, ketidakadilan yang dianggap normal mulai dipertanyakan. Siklus diam pun terputus. Gramsci menyebutnya perlunya counter-hegemony, membangun budaya tandingan dari bawah.
Organisasi basis seperti serikat buruh, komunitas adat, atau kelompok advokasi bisa berfungsi sebagai inkubator transendensi. Di ruang seperti inilah mekanisme auto-sensor dilawan dengan solidaritas kolektif. Monotonisme tindakan diubah menjadi dialektika yang membuka kemungkinan perubahan. Saat individu yang merasa terisolasi menyadari bahwa skeptisisme mereka sebenarnya dibagi banyak orang, stigma subversif perlahan kehilangan kekuatannya. Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed menyebut proses ini conscientization kesadaran kritis yang membebaskan dari culture of silence lewat dialog dan praxis.
Namun, transformasi sosial tak bisa berhenti di gagasan. Etika alternatif harus diwujudkan dalam aksi konkret. Pendampingan hukum pro-bono, pembentukan koperasi swadaya, atau pemantauan kebijakan independen adalah contohnya. Aksi-aksi ini menjadi bukti bahwa prinsip moral yang independen bisa dijalankan. Dari sini, masyarakat membangun legitimasi baru yang bersumber dari solidaritas, bukan dari kekuatan dominan.
Etika alternatif itu lalu harus berkembang menjadi energi kolektif yang menantang struktur budaya mapan. Di sinilah terjadi konfrontasi kultural: menolak harmoni semu, menolak kompromi yang melanggengkan penindasan, dan membuka ruang perdebatan kritis. Ini bukan sekadar perlawanan politik elektoral, tapi gerakan tandingan yang mengganggu hegemoni budaya. Jalan keluar dari ketimpangan bukan cuma reformasi prosedural, melainkan pembentukan budaya tandingan yang menegakkan keadilan sebagai norma baru.
Gerakan sosial harus membangun etika alternatif yang independen, dan mempraktikkannya langsung. Gerakan tak boleh cuma mengutuk etika kekuasaan; mereka harus mendemonstrasikan etika lain melalui aksi nyata. Dengan begitu, kebenaran ditegakkan bukan berdasarkan kekuatan, tapi dari konsensus moral yang lahir dari pengalaman hidup masyarakat tertindas. Seperti ditekankan Freire, inilah praxis refleksi dan aksi yang saling mengubah.
Akhirnya, untuk membendung hegemoni, advokasi masyarakat tak bisa bersifat politis dalam arti sempit. Ia harus menjadi gerakan kontra-kultural yang radikal. Keluar dari ketimpangan butuh keberanian untuk mengisolasi status quo, bukan mengisolasi kritik. Dengan meningkatkan literasi kritis, menolak kompromi penindasan, dan membangun solidaritas yang merangkul perdebatan terbuka, masyarakat bisa menciptakan dinamika baru. Dinamika yang melampaui imanensi kebudayaan saat ini, menuju transendensi kolektif.
Inspirasi dari Mazhab Frankfurt, khususnya Jürgen Habermas, mengingatkan kita pada pentingnya demokrasi partisipatoris dan komunikasi bebas distorsi. Gerakan sosial kritis harus mengarah pada emansipasi lewat deliberasi publik yang inklusif. Tujuannya: mengatasi apa yang disebut administrasi total kondisi di mana segala aspek kehidupan dikelola secara birokratis oleh negara dan kapital hingga menghilangkan ruang otonomi serta mengatasi alienasi kapitalis, di mana manusia terasing dari kerja, sesama, dan potensi dirinya sendiri. Pada akhirnya, yang dibangun adalah masyarakat di mana partisipasi aktif menjadi dasar kebebasan dan kesetaraan yang substantif.
Artikel Terkait
Kekuatan Doa Ibu: Dari Air Mata Hingga Hidayah yang Menyentuh
Bandar Sayuran Garut Ditangkap Usai Babat Ribuan Pohon Teh
Kepala Desa Beraksi Lagi, Kali Ini Tuntut Kendali Penuh atas Dana Desa
Tujuh Hari yang Menentukan Nasib Upah Buruh