Saya mendengarnya sambil menghela napas. Rupanya, saya punya pengalaman mirip. Beberapa waktu lalu, tepatnya jelang pemanggilan ketiga untuk pembuatan BAP di Reskrim Polda Metro Jaya, seorang advokat yang sebut saja 'termul' berkali-kali menghubungi saya. Pesannya nyaris sama: buatlah surat pernyataan minta maaf.
Mendengar cerita Eggi, saya langsung teringat episode itu. Lalu kami pun saling bertanya, lewat telepon yang sama. Apa sih sebenarnya kesalahan kami berdua kepada Jokowi sebagai pribadi? Kami tak menemukan jawabannya. Justru yang ada di benak kami adalah serangkaian upaya hukum yang ditempuh berdasarkan fakta dan data, itu saja. Itu hak warga negara.
Di sisi lain, andaikan saja "saran" minta maaf dari oknum-oknum tak jelas itu ditujukan agar kami meminta maaf atas semua perilaku negatif Jokowi selama menjabat baik sebagai presiden ketujuh maupun dalam perannya di PT Danantara sekarang justru itu jadi anomali. Sungguh aneh. Upaya hukum yang kami lakukan kan bentuk partisipasi masyarakat. Landasannya jelas secara hukum, bukan sekadar omong kosong.
Percakapan kami berakhir dengan kesepakatan untuk bertemu langsung. Nanti, setelah saya kembali ke Jakarta. Sebelum pulang, saya masih punya amanah dari seorang ulama besar di Ngruki, Ustad Abu Bakar Ba'asyir, yang saya kunjungi di sela-sela waktu di Solo. Beliau menitipkan surat untuk disampaikan kepada empat tokoh politik di Senayan, termasuk Ketua DPR RI Puan Maharani.
Begitulah. Laporan dari lapangan yang berawal dari Solo dan berujung pada sebuah "saran" yang masih menggantung. Kami tidak tahu siapa oknum di balik telepon itu. Tapi satu hal yang pasti: permintaan maaf bukanlah bahasa yang kami pahami dalam konteks perjuangan hukum ini.
Artikel Terkait
Rustam Effendi Tegaskan Foto Ijazah Jokowi yang Ditunjukkan Polisi Palsu
Vonisme Banding Iwan Henry Wardhana Menggila: 12 Tahun Penjara dan Denda Rp 20,5 Miliar
Kapolri Geser Deretan Kapolda dan Wakapolda Jelang Akhir Tahun
Tersangka Pemalsuan Ijazah Jokowi Klaim Dokumen yang Ditunjukkan Polisi Masih Palsu