Membedah Kesalahan: Mengkritik Penguasa Bukanlah Ghibah

- Rabu, 17 Desember 2025 | 07:40 WIB
Membedah Kesalahan: Mengkritik Penguasa Bukanlah Ghibah

Ambil contoh kasus Abu Sa'id al-Khudri dan Marwan bin al-Hakam. Saat Marwan, sebagai gubernur, hendak mengubah urutan shalat Id (mendahulukan khutbah), Abu Sa'id langsung menarik bajunya di hadapan jamaah. "Demi Allah, kamu telah mengubahnya!" serunya lantang. Tak ada ulama yang menyebut tindakan beliau sebagai ghibah.

Atau kisah perempuan yang menyanggah Khalifah Umar bin Khattab di depan khalayak. Umar justru berkata, "Perempuan ini benar, sedangkan Umar salah." Ia tak marah, apalagi menuduh perempuan itu membongkar aib.

Keempat, para Salaf membedakan aib pribadi dan kemungkaran publik.

Ini poin krusial. Mengatakan kritik publik sama dengan membongkar aib adalah kesalahan fatal. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menegaskan, "Kemungkaran jika dilakukan secara terang-terangan, maka ia wajib diingkari secara terang-terangan pula."

Pendapat serupa bertebaran dari mulut para imam Salaf. Hasan al-Bashri, misalnya, berkata, "Tiada ghibah kepada tiga macam orang: fasik yang terang-terangan berbuat maksiat, ahli bid'ah, dan penguasa yang lalim." Begitu pula Ibrahim an-Nakha'i, Sufyan bin Uyainah, dan lainnya. Intinya sama: jika penguasa berbuat zalim secara sistemik dan terbuka, itu urusan umat. Bukan privasi yang harus dilindungi.

Kelima, nasihat rahasia itu metode, bukan satu-satunya jalan.

Memang ada hadits yang menganjurkan menasihati penguasa dengan menyendiri. Tapi Imam Ibnu Rajab al-Hanbali menjelaskan, ini berlaku jika memungkinkan dan tidak menghilangkan maslahat yang lebih besar. Lalu bagaimana jika penguasa menutup diri, tak bisa diakses, sementara kezalimannya bersifat massif dan brutal? Diam justru memperluas kerusakan. Dalam kondisi seperti itu, amar ma'ruf nahi munkar secara terbuka bukan hanya boleh, tapi wajib.

Keenam, ancaman bagi yang diam.

Bahayanya membungkam kritik itu nyata. Nabi ﷺ memperingatkan, "Apabila manusia melihat orang yang zalim lalu mereka tidak mencegahnya, maka hampir saja Allah menimpakan azab kepada mereka semua secara merata!" (HR Abu Dawud). Hadits ini tak mensyaratkan "harus empat mata". Jika kezaliman sudah tampak, mencegahnya adalah kewajiban kolektif.

Jadi, apa kesimpulannya?

Narasi yang dibangun si Pudel itu rapuh. Pertama, ia salah mendefinisikan ghibah. Kedua, ia salah mengkategorikan kebijakan publik sebagai aib pribadi. Ketiga, pendapatnya menabrak Sunnah yang memperbolehkan metode lain selain nasihat rahasia. Keempat, ia jelas menyelisihi praktik para Sahabat dan ulama Salaf. Dan kelima ini yang berbahaya opini semacam ini mematikan fungsi kontrol sosial umat. Alih-alih melindungi penguasa, ia justru membiarkannya tenggelam dalam dosa.

Demikian. Semoga jelas.


Halaman:

Komentar