Kengerian Gaza dan Luka yang Tak Lagi Mengejutkan Dunia

- Senin, 15 Desember 2025 | 12:40 WIB
Kengerian Gaza dan Luka yang Tak Lagi Mengejutkan Dunia

Sekali lagi, izinkan saya tegaskan: apa yang terjadi di Bondi itu salah. Menyerang warga sipil tak bersenjata adalah kejahatan. Tak ada pembenaran.

Tapi, coba dengankan pemikiran yang kini mungkin ada di benak jutaan orang, meski mereka takut mengatakannya keras-keras.

Kalau seorang warga Palestina di Gaza melakukan hal persis seperti Rabbi Schlanger berfoto dengan pejuang Hamas, menandatangani roket, mendukung kekerasan massal, mengklaim tanah Israel pasti akan bilang itu cukup untuk menargetkan dan membunuhnya. Mereka akan membom orang itu dan semua yang di sekitarnya, lalu muncul di TV dan berkata, "Kami telah menyingkirkan target sah."

Itulah standar pembunuhan yang diciptakan Israel. Brutal. Sembrono. Dan dampaknya tidak terbatas di satu tempat.

Saya tidak bilang kita harus mengadopsi standar itu. Sama sekali tidak. Saya cuma bilang, ketika sebuah negara kuat bersikeras selama setahun bahwa begitulah cara dunia bekerja, ketika mereka terus meneriakkan bahwa pendukung dan orang yang berfoto selfie adalah target militer yang sah, jangan heran kalau logika itu mulai meracuni pikiran orang di tempat lain.

Ini seperti kotak Pandora. Sekali terbuka, sulit ditutup. Anda tidak bisa mengajarkan teologi "bersalah karena keterkaitan" lalu berharap tidak ada seorang pun yang akan membalikkan logika yang sama kepada Anda.

Jawabannya bukan merayakan Bondi. Jawabannya adalah menolak total logika pembunuhan Israel itu. Bilang tidak tidak boleh mengebom warga sipil karena mereka berfoto dengan seseorang. Tidak boleh membunuh orang karena mendukung tentara yang salah. Tidak boleh memusnahkan seluruh keluarga karena satu orang di gedung itu menandatangani bom.

Kalau kita tidak menolaknya sepenuhnya, logika ini akan terus menyebar.

Pria Muslim yang Heroik Melawan Penembak

Poin ketiga ini tentang cahaya di tengah kegelapan: seorang pria Muslim tak bersenjata yang berhasil menghentikan penembakan di Bondi, dan tertembak dua kali karenanya.

Namanya Ahmed al Ahmed, 43 tahun, pemilik toko buah, ayah dua anak. Dalam video yang beredar, Anda bisa lihat salah satu penembak bersembunyi di balik pohon palem. Lalu terlihat Ahmed, yang awalnya bersembunyi di balik mobil, tiba-tiba berlari mendekati si penembak.

Dia menerjang, merebut senjata, dan mengarahkannya kembali ke penembak, memaksanya mundur. Ahmed lalu menurunkan senjata dan mengangkat tangan agar polisi tahu dia bukan pelaku. Dalam aksi nekat itu, dia tertembak di lengan dan tangan. Dia sudah dioperasi. Sepupunya bilang ke media Australia, "Dia pahlawan, 100% pahlawan."

Perdana Menteri New South Wales memujinya sebagai pahlawan sejati yang menyelamatkan banyak nyawa. PM Australia juga memberi pujian. Bahkan Donald Trump, dalam sebuah acara di Gedung Putih, menyebut Ahmed orang yang sangat berani dan menyatakan hormatnya.

Coba pikirkan sejenak. Di dunia di mana Muslim sering digambarkan sebagai ancaman, sebagai tersangka, di dunia di mana Palestina direndahkan, justru seorang pria Muslim yang berlari menuju tembakan di acara Yahudi dan mungkin menyelamatkan puluhan nyawa orang Yahudi.

Di sisi lain, beberapa suara Yahudi dan Kristen paling lantang di dunia justru mendukung genosida terhadap Muslim di Gaza, menyemangati penghancuran, menandatangani bom.

Inilah paradoks dunia kita: seorang pria Muslim berdarah-darah di rumah sakit karena memilih melindungi orang-orang yang mungkin takut padanya di jalan biasa; sementara imannya terus dikaitkan dengan kekerasan, padahal dialah yang mempertaruhkan nyawa untuk menghentikannya.

Kita harus melihat Ahmed dengan jelas. Sebut namanya. Bukan sebagai catatan kaki, tapi sebagai fakta sentral dari kisah ini.

Apa yang terjadi di Bondi memang memilukan. Itu kejahatan. Lima belas orang tewas, termasuk seorang rabi, penyintas Holocaust, warga Prancis, dan lainnya. Orang-orang bersembunyi di bawah panggangan barbekyu sambil menggendong bayi. Remaja awalnya mengira suara tembakan adalah kembang api, sampai mereka melihat mayat di pasir.

Tapi saya tidak bisa memisahkan ini dari Gaza. Saya tidak bisa pura-pura bahwa satu tahun genosida tidak mengubah cara pikir kita. Saya tidak bisa mengabaikan bahwa logika pembunuhan Israel menciptakan preseden menakutkan. Dan saya tidak bisa melupakan bahwa seorang pria Muslim bernama Ahmed berlari ke arah peluru, sementara dunia sering menggambarkan Muslim seolah-olah merekalah pelurunya.

Hati saya hancur. Rasa terkejut saya hancur. Dan dunia, sayangnya, terasa lebih berbahaya dari sebelumnya.


Halaman:

Komentar