Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kalian dalam urusan agama. (Q.S. Al-Mumtahanah: 8).
Bahkan Islam sangat melindungi non-Muslim yang hidup damai di bawah naungannya. Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ آذَى ذِمِّيًا فَقَدْ آذَانِيْ، وَمَنْ آذَانِيْ فَقَدْ آذَى اللهِ
“Barangsiapa menyakiti seorang zimmi (non Muslim yang tidak memerangi umat Muslim), maka sesungguhnya dia telah menyakitiku. Dan barang siapa yang telah menyakitiku, maka sesungguhnya dia telah menyakiti Allah.” (HR. Imam Thabrani)
Lihat? Perlindungannya sampai segitu. Tapi sekali lagi, ada rambu-rambunya.
Rambu-Rambu yang Harus Dipegang
Dalam bertoleransi, kita tidak boleh kebablasan. Ikut “cawe-cawe” dalam urusan akidah dan ritual agama lain bukanlah toleransi, tapi penyimpangan. Karena pertimbangan inilah, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sejak 1981 telah mengeluarkan fatwa tentang keharaman menghadiri perayaan Natal bersama bagi Muslim.
Ketua MUI saat itu adalah Buya Hamka. Fatwa itu ditandatangani oleh KH. M. Syukri Ghozali dan Drs. H. Mas’udi.
HAMKA dalam fatwanya tentang Natal Bersama menyatakan, “Menghadiri perayaan Natal adalah haram, karena di dalamnya terdapat unsur pengakuan atau pembenaran atas keyakinan Trinitas.”
Ia juga menegaskan, “Toleransi tidak boleh memaksa seorang Muslim menggadaikan akidah.”
Buya Hamka berpendapat, mengajak Muslim untuk merayakan Natal justru adalah bentuk intoleransi terselubung. Itu sama dengan memaksakan keyakinan. Omong kosong kalau kerukunan harus dibangun dengan mencampuradukkan perayaan agama.
Ceritanya, kala itu ada desakan dari pemerintah agar fatwa itu dicabut. Tapi Buya Hamka bersikukuh. Dia memilih mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Ketua MUI daripada mencabut fatwa tersebut. Sebuah sikap yang menunjukkan integritas tinggi.
Ini teladan yang perlu diingat. Jangan sampai karena jabatan atau ingin disebut toleran, seorang ulama atau tokoh agama mengorbankan prinsip akidah. Akidah itu jantungnya Islam. Modal utama untuk selamat di dunia dan akhirat.
Jadi, sekali lagi, jangan korbankan akidah hanya demi disebut toleran. Toleransi itu penting, tapi jangan sampai kebablasan.
Abd. Mukti, Pemerhati Kehidupan Beragama.
Artikel Terkait
Gus Yaqut Kembali Diperiksa KPK, Dugaan Korupsi Kuota Haji Tembus Rp1 Triliun
Moral Kebangsaan: Jiwa yang Hidup dalam Diri Rakyat
Gelar Perkara Ijazah: Panggung Sandiwara Transparansi?
Identitas Pelaku Penembakan Bondi Terungkap: Warga India yang Baru Pulang dari Filipina