Bangsa Jujur, Indonesia Mandiri: Saatnya Cabut Akar Korupsi

- Kamis, 11 Desember 2025 | 05:50 WIB
Bangsa Jujur, Indonesia Mandiri: Saatnya Cabut Akar Korupsi

EDITORIAL JAKARTASATU: Indonesia Harus Bangkit sebagai Bangsa Jujur Mandiri Tanpa Korupsi

Kita sering dengar Indonesia disebut bangsa besar. Luas wilayah, jumlah penduduk, kekayaan alam yang melimpah. Tapi apa benar itu ukuran kebesaran? Rasanya tidak. Kebesaran sejati sebuah bangsa justru terletak pada karakternya, pada moral yang jadi fondasi setiap langkahnya. Dan di sinilah masalah kita yang paling pelik: korupsi. Ini bukan cuma soal pelanggaran hukum. Korupsi adalah penyakit moral yang menggerogoti kepercayaan, membunuh harapan, dan menghambat kemajuan. Ia membusukkan bangsa dari dalam, diam-diam.

Di tengah situasi seperti ini, ucapan Mohammad Hatta terngiang kembali. Sang proklamator yang namanya lekat dengan integritas itu pernah bilang:

“Kurang cerdas dapat diperbaiki, kurang cakap dapat dihilangkan dengan pelatihan, tetapi kurang jujur sulit diperbaiki.”

Ini bukan kalimat kosong. Ini peringatan keras. Bangsa tanpa kejujuran ibarat bangunan megah tapi pondasinya rapuh. Runtuhnya tinggal menunggu waktu.

Tanpa kejujuran, hukum jadi tak bergigi. Kebijakan publik mandul. Rakyat pun perlahan kehilangan kepercayaan pada negara. Dan begitu kepercayaan itu hilang, lenyap pula semangat gotong royong untuk membangun. Abraham Lincoln, presiden Amerika ke-16 yang memimpin negaranya keluar dari krisis perang saudara dan perbudakan, punya analogi yang bagus. Katanya, karakter itu seperti pohon, sementara reputasi hanyalah bayangannya. Bayangan bisa diatur, dibuat terlihat indah. Tapi pohonnya? Itu kenyataan yang tak bisa dibohongi. Kalau pohonnya busuk karena korupsi, percuma saja bayangannya dipoles-poles.

Jadi, kalau Indonesia mau benar-benar maju, yang dibenahi harus karakter, bukan cuma reputasi. Karakter adalah esensinya. Dan membangun karakter berarti berpegang teguh pada nilai yang tak lekang: kejujuran.

Filsuf besar Immanuel Kant bahkan lebih tegas lagi. Bagi dia, kejujuran bukan sekadar kebijakan yang menguntungkan. Itu adalah kewajiban moral, titik. Sesuatu yang dilakukan bukan karena ada yang lihat atau ada untungnya, tapi karena itu selaras dengan martabat kita sebagai manusia. Kalau bangsa ini ingin bermartabat, ya kejujuran harus jadi prinsip hidup, bukan pilihan situasional.

Tapi di sini persoalannya. Menegakkan kejujuran tidak bisa cuma mengandalkan hukum atau aparat. Korupsi itu soal budaya dan mentalitas yang sudah mengakar. Selama kita masih anggap "uang terima kasih" itu wajar, selama menyontek dianggap hal sepele, selama jabatan bisa dibeli dan jalan pintas dinilai lebih cerdik daripada kerja keras korupsi akan tetap subur. Inilah akar masalah yang harus dicabut sampai ke pangkalnya.

Artinya, kita butuh budaya baru. Budaya yang menghargai proses ketimbang manipulasi. Yang menjunjung integritas, bukan kepentingan sesaat. Yang mengajarkan bahwa sukses sejati lahir dari kerja keras dan kejujuran.

Coba bayangkan. Indonesia tanpa korupsi. Anggaran pendidikan sampai penuh ke sekolah, anak-anak dapat fasilitas terbaik. Layanan kesehatan berjalan mulus tanpa pungutan liar. Infrastruktur dibangun dengan material berkualitas, anggarannya tidak bocor. Dunia usaha dapat kesempatan adil, tanpa harus menyogok untuk izin. Pegawai negeri naik pangkat karena kinerja, bukan karena titipan. Pemerintahan yang dipercaya rakyat, dan rakyat yang bangga pada negaranya.


Halaman:

Komentar