Lima tahun berlalu sejak peristiwa berdarah di KM 50 yang merenggut nyawa enam laskar FPI. Kini, jalan penyelesaiannya ternyata mengarah jauh ke luar negeri.
Habib Rizieq Shihab, selaku Pembina Yayasan Markaz Syariah, baru-baru ini mengumumkan sebuah langkah yang cukup mengejutkan. Kasus yang terjadi pada 7 Desember 2020 itu, katanya, sudah didaftarkan ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC) di Den Haag.
“Kasus tragedi KM 50 sudah didaftarkan di Pengadilan Kriminal Internasional ICC pada bulan September lalu,” ujarnya.
Perkataan itu disampaikan Rizieq dalam sebuah acara haul yang disiarkan lewat YouTube, Ahad lalu. Ia menambahkan, laporannya sudah diregistrasi. Tinggal menunggu persiapan materi lebih lanjut.
“Sudah dilaporkan ke Den Haag, sudah diregistrasi, hanya tinggal sekarang ini kita siapkan materinya,” tegas mantan Ketua Umum FPI itu.
Laporan investigasi pelanggaran HAM berat untuk kasus ini konon sudah rampung. Rencananya, dokumen itu akan diterjemahkan ke dalam dua bahasa sebelum diserahkan ke berbagai instansi di Indonesia, mulai dari Presiden hingga pimpinan lembaga tinggi negara.
Jalan di Dalam Negeri Buntu
Mengapa akhirnya memilih jalur internasional? Rizieq punya penjelasan panjang. Selama lima tahun ini, upaya untuk menggelar pengadilan HAM di dalam negeri selalu mentok. “Pintu-pintu itu tertutup,” keluhnya.
“Jadi agak sulit sehingga lima tahun kita jatuh bangun,” imbuhnya.
Setelah melihat tak ada kemajuan, para pengacara dari Persaudaraan Islam akhirnya mengambil keputusan. Mereka sepakat membawa perkara ini ke forum dunia. Meski begitu, Rizieq menyatakan masih menghormati pemerintah dan semua jalur hukum yang ada di Indonesia.
“Kami tidak lagi berharap untuk gelar pengadilan HAM di Indonesia, tapi tetap kami hormati pemerintah kita,” katanya.
Bukan Pelanggaran Biasa
Menurut Rizieq, tragedi KM 50 ini bukan sekadar kasus pidana biasa. Ia membedakannya dengan kasus pembunuhan Brigadir Yosua yang melibatkan Ferdy Sambo, yang proses hukumnya berjalan di pengadilan pidana umum.
Justru, kasus ini lebih mirip dengan kasus Munir. “Kasus Munir itu pelanggaran HAM berat karena sistemik, melibatkan badan negara, ada rencana-rencana yang dibuat dan pembunuhannya penuh nuansa politik,” jelasnya.
Nah, KM 50 dianggap memenuhi unsur yang sama: dilakukan secara sistemik dan masif, melibatkan instansi negara, serta punya aroma politik. Enam santri yang tewas saat itu, menurut Rizieq, sedang bertugas menjaga keamanan dirinya dan keluarga dari ancaman.
Ia bahkan mengungkap sebuah detail. Dua hari sebelum insiden, ada tiga anggota BIN yang ditangkap laskar di pesantrennya di Megamendung.
“Di laptop yang mereka bawa ada agenda yang bernama operasi delima yang mentargetkan saya,” ungkap Rizieq.
Artikel Terkait
Bupati Lampung Tengah Terjaring OTT KPK, Status Hukum Segera Ditentukan
Rekonstruksi Tertutup Ungkap 13 Adegan Kasus Dosen vs Dokter di RS Sultan Agung
Kudeta Merangkak: Skenario Panjang Jokowi-Gibran dan Ujian Terberat Prabowo
Kebakaran Jakarta Renggut Nyawa Alumni Terbaik Teknik Geofisika Itera