Daftar Panjang di Laporan ICC
Laporan yang dikirim ke Den Haag itu memuat nama-nama yang tak sedikit. Ada 26 pejabat negara yang dilaporkan, dengan nama Presiden Joko Widodo (periode 2014-2024) berada di urutan pertama.
“Ada 26 pejabat negara yang kita laporkan ke ICC. Nomor satu adalah Joko Widodo,” kata Rizieq tegas. “Ada sejumlah jenderal yang terlibat, ada sejumlah menteri, semuanya kita sebutkan.”
Jumlah itu belum termasuk eksekutor di lapangan yang bisa mencapai 35 orang. Yang menarik, mereka melaporkan bukan cuma pelaku langsung, tapi juga pejabat yang dianggap membiarkan peristiwa terjadi atau dalam istilah hukum disebut "by omission".
“Joko Widodo kena dua-duanya, "by omission" dan "by commission",” tegas Rizieq. “Terlibat langsung baik dalam peristiwa KM 50-nya atau menjadi pencipta kondisinya.”
Bahkan Komnas HAM pun tak luput dari laporan. Lembaga negara itu dituding sengaja memanipulasi data agar kasus ini tidak naik ke pengadilan HAM. Rizieq mengaku tak pernah dimintai keterangan selama penyelidikan berlangsung.
Selain itu, mantan Kapolri, mantan Kapolda, hingga hakim dan jaksa yang menggelar apa yang disebutnya “sidang dagelan” juga masuk dalam daftar laporan.
Bisa Kena ‘Red Notice’?
Lantas, apa konsekuensinya? Rizieq menjelaskan, jika laporan ini resmi masuk pada Desember nanti, nama-nama yang disebut berpotensi masuk database pencarian internasional.
“Mereka menjadi orang yang dicari oleh pengadilan internasional untuk diadili,” ujarnya. “Artinya orang-orang ini besok tidak bisa bebas lagi ke luar negeri.”
Menurutnya, begitu identitas mereka terpindai di imigrasi suatu negara, akan ketahuan statusnya sebagai tersangka pelanggar HAM yang dicari ICC. “Ke Singapura saja bisa ditangkap, apalagi ke Eropa,” tambahnya.
Kenapa Baru Sekarang?
Pertanyaan lain: mengapa butuh waktu lima tahun untuk sampai ke titik ini? Rizieq mengaku ada kendala teknis yang cukup merepotkan, yaitu ketiadaan pengacara HAM bersertifikat internasional.
“Untuk melaporkan suatu masalah ke Mahkamah Pidana Internasional, kita harus punya pengacara HAM yang punya sertifikasi internasional. Selama ini kita tidak punya,” paparnya.
Pada 2021, upaya pelaporan online sempat dilakukan, tapi mentah karena syarat itu. Baru belakangan ini, katanya, sudah ada belasan pengacara Indonesia yang memiliki sertifikasi dimaksud.
Tragedi KM 50 sendiri, seperti kita ingat, terjadi di Tol Jakarta-Cikampek pada Desember 2020. Pemerintah menyebutnya sebagai bentrokan dengan polisi. Tapi bagi keluarga korban dan FPI, ini adalah penembakan sengaja yang harus diadili di pengadilan HAM.
Kini, bola panas itu sudah menggelinding ke meja pengadilan di Belanda. Kita lihat saja bagaimana kelanjutannya.
Artikel Terkait
Bupati Lampung Tengah Terjaring OTT KPK, Status Hukum Segera Ditentukan
Rekonstruksi Tertutup Ungkap 13 Adegan Kasus Dosen vs Dokter di RS Sultan Agung
Kudeta Merangkak: Skenario Panjang Jokowi-Gibran dan Ujian Terberat Prabowo
Kebakaran Jakarta Renggut Nyawa Alumni Terbaik Teknik Geofisika Itera