Lalu, masa depan pendidikan mereka? Seringkali langsung terputus. Begitu menikah, fokusnya beralih ke urusan domestik. Akibatnya, akses untuk mendapat pekerjaan yang layak pun ikut menyempit. Inilah yang kemudian memicu lingkaran setan kemiskinan antar generasi.
Menurut sejumlah pengamat, dunia modern butuh sumber daya manusia yang berkualitas. Bagaimana mungkin itu tercapai jika anak-anak dipotong masa belajarnya terlalu cepat? Mereka seharusnya punya waktu untuk tumbuh, mengeksplorasi potensi, dan bersekolah lebih tinggi.
Lantas, apa yang bisa dilakukan? Langkah pertama tentu lewat edukasi. Remaja harus punya akses pengetahuan soal kesehatan reproduksi dan hak-hak mereka. Regulasi juga harus diperkuat, jangan sampai dispensasi nikah jadi jalan pintas yang mudah.
Peran keluarga dan tokoh masyarakat kunci banget. Mereka perlu diajak dialog, diberi pemahaman bahwa menjaga anak tetap sekolah itu investasi jangka panjang yang lebih berharga. Media sosial, produk globalisasi itu sendiri, bisa jadi alat kampanye yang efektif untuk menjangkau kaum muda.
Pada akhirnya, kita memang harus melihat ulang tradisi ini dengan kritis. Akar budaya patut dihargai, tapi konsekuensi jangka panjangnya tak bisa diabaikan. Dengan kerja sama dari semua pihak pemerintah, komunitas, hingga keluarga harapannya, angka pernikahan dini bisa ditekan. Tujuannya satu: memastikan generasi muda punya fondasi yang kuat untuk menghadapi tantangan zaman yang makin kompleks.
Artikel Terkait
Billie Eilish Berhadapan dengan Miliarder AS, Tegaskan Dukungan untuk Palestina Tak Bisa Ditawar
Sjafrie Siap Berantas Pengkhianat di Balik Tambang Indonesia
UIKA Championship 2025 Sukses Digelar, Siap Naik Kelas Jadi Ajang Internasional
Cak Imin: Banjir Sumatera Alarm Keras Kelalaian Kita pada Alam