Di banyak sudut Indonesia, pernikahan di usia belia masih kerap kita jumpai. Ini bukan cuma soal angka statistik, tapi cerita nyata yang punya akar panjang dalam tradisi dan kondisi sosial. Meski dianggap lumrah oleh sebagian kalangan, angin perubahan global membawa perspektif baru. Kini, orang mulai banyak bertanya: sejalan kah praktik ini dengan hak anak, pendidikan, dan masa depan mereka?
Kalau kita telusuri, alasan di baliknya beragam banget. Ada yang karena desakan ekonomi keluarga, ada pula kekhawatiran akan pergaulan. Di beberapa daerah, menikah muda itu sudah seperti ritus yang diwariskan turun-temurun. Tapi, zaman berubah. Arus informasi yang deras lewat internet membuka mata banyak orang, termasuk para remaja itu sendiri, tentang pilihan hidup yang lain.
Nah, di sisi lain, badan-badan dunia macam UNICEF dan WHO sudah lama menyoroti masalah ini. Mereka bilang, dampaknya nggak main-main. Sorotan global ini akhirnya memengaruhi kebijakan di tingkat lokal, mendorong revisi undang-undang tentang batas usia nikah.
Dari segi kesehatan, risikonya jelas. Bayangkan saja, tubuh remaja perempuan yang belum sepenuhnya berkembang harus menanggung beban kehamilan. Dokter sering memperingatkan soal ancaman anemia, preeklamsia, atau komplikasi saat melahirkan. Nyawa ibu dan bayi bisa taruhannya.
Belum lagi tekanan psikologisnya. Menikah itu butuh kematangan emosi, yang sering kali belum dimiliki pasangan remaja. Konflik rumah tangga, ditambah beban ekonomi yang datang tiba-tiba, rentan bikin stres dan berujung pada perceraian. Banyak penelitian yang membuktikan hal ini.
Artikel Terkait
Billie Eilish Berhadapan dengan Miliarder AS, Tegaskan Dukungan untuk Palestina Tak Bisa Ditawar
Sjafrie Siap Berantas Pengkhianat di Balik Tambang Indonesia
UIKA Championship 2025 Sukses Digelar, Siap Naik Kelas Jadi Ajang Internasional
Cak Imin: Banjir Sumatera Alarm Keras Kelalaian Kita pada Alam