9 Desember 2025 – Memperingati Hari Anti Korupsi
Rakyat Lapar dan Dibantai Bencana Karena Korupsi
Oleh MN Lapong
Banjir bandang di Aceh, Sumut, dan Sumbar tak hanya meninggalkan lumpur. Ia meninggalkan jenazah. Rakyat tak berdosa meregang nyawa, ada yang ditemukan syahid, terkubur bersama gelondongan kayu hasil tebangan perusahaan. Legal atau ilegal, kuasa mereka ternyata lebih kuat. Kita jadi bertanya-tanya, dengan geram: Republik Indonesia ini masih utuh, atau malah ada republik lain di dalamnya?
Judulnya mirip sinetron: “Paradoks Bencana Indonesia, Negara Kalah Sama Cukong?!” Baru-baru ini Kemenhut menyegel 4 perusak hutan di Sumut yang dituding sebagai biang kerok banjir. Delapan lainnya konon menyusul. Tapi pertanyaan paling menyakitkan justru sederhana: kenapa baru sekarang? Kenapa harus menunggu air bah menerjang dan merenggut nyawa dulu?
Menurut sejumlah saksi dan laporan, negara sebenarnya ikut andil dalam “pembantaian” ini. Caranya? Lewat pemberian izin lahan untuk kawasan industri, semua atas nama investasi. Akibatnya, prikemanusiaan dan prikeadilan dalam konstitusi jadi nisbi, kabur. Hanya segelintir orang diuntungkan, sementara warga lokal jadi korban keganasan ekologis yang didaulat oleh negara sendiri.
Mengapa ini bisa terjadi?
Dengan nada getir, publik punya satu kesimpulan: “Semua terjadi karena korupsi. Kongkalikong pejabat dengan pengusaha, dibungkus rapi dengan regulasi investasi.” Asumsi ini terdengar klise, tapi faktanya berkata lain. Di era Jokowi, misalnya, Revisi UU KPK justru dimandulkan. Ini didahului oleh pemandulan sejumlah UU lain, puncaknya adalah UU Omnibus Law yang dikritik banyak pihak. Semuanya untuk kapitalisasi kepentingan cukong dan oligarki. Tentu saja, lagi-lagi, atas nama investasi.
Akibatnya, kemuliaan prikemanusiaan dan keadilan bagi kaum bumi putera cuma jadi mimpi. Mereka cuma bisa gigit jari, bersimbah air mata, menyaksikan hutan rampas dan lahan diambil paksa.
Kasus Rempang, sengketa tanah adat di Kalimantan dan Papua, perlawanan di Gunung Kendeng, hingga proyek PIK 2. Puluhan kasus agraria antara rakyat dan investor itu adalah bukti yang mengiris hati. Potret nyata dari paradoks yang memilukan.
Agus Wahid, seorang pengamat, memberi penekanan khusus pada tragedi Sumatra ini.
Dia juga menyoroti lonjakan izin konsesi hutan. Misalnya, di era Menteri Kehutanan MS Kaban (2004-2009) seluas 589 ribu hektare. Angka itu melonjak drastis menjadi 1,6 juta hektare di masa kepemimpinan Zulkifli Hasan.
Dari sini, kita bisa bilang investasi dan korupsi itu bagai dua sisi mata uang yang tak terpisah. Sistemik. Massif. Bahkan sudah dianggap wajar. Korupsi tak lagi dilihat sebagai perusak masa depan bangsa. Masyarakat pun, lelah mungkin, jadi permisif. Sikap anti korupsi memudar.
Bung Hatta pernah menggugat dengan narasi pedas: “Korupsi sudah jadi budaya bangsa.” Ngeri, bukan?
Artikel Terkait
Jurnalis Australia Robert Martin Resmi Syahadat Setelah Perjuangkan Palestina
Misteri Guru di Bogor: Tangan Terikat, Mayat Terbungkus Plastik Biru
Saat Kunci Gudang Obat Hilang, JK Beri Perintah Singkat: Tembak Gemboknya!
Kain Suci Kabah Tiba di Damaskus, Jawab Misteri Kotak Hijau di Masjid Umayyah