Jadilah “Pemimpin” yang Tak Gentar oleh Suara Rakyat
Memimpin sebuah bangsa itu ibarat berjalan di garis yang sangat tipis. Di satu sisi, ada jutaan harapan yang ditumpahkan. Di sisi lain, selalu saja ada bisikan dan suara yang beragam ada pujian, tentu, tapi tak jarang juga celaan dan pertanyaan yang mengusik. Jadi, soal memimpin ini bukan cuma perkara kuasa. Lebih dalam dari itu. Ini soal kesanggupan hati untuk tetap melangkah, meski diterpa angin kritik yang kadang terasa begitu kencang.
Nah, bicara soal kritik. Inilah yang seringkali dianggap menyakitkan. Padahal, kalau kita renungi, kritik itu bukan pisau. Ia lebih mirip cermin. Sebuah alat yang memantulkan bagian-bagian yang mungkin luput dari pandangan kita sendiri. Sejarah mencatat, tidak ada pemimpin besar yang lahir dari lingkungan yang penuh sanjungan. Mereka justru matang karena berani mendengarkan hal-hal yang, jujur saja, tidak ingin mereka dengar. Di situlah letak kebesarannya.
Karena itu, seorang pemimpin tak perlu takut pada kritik. Rasa takut hanya akan membuat langkah jadi ciut dan pandangan jadi sempit. Pemimpin sejati justru berjalan dengan dada terbuka. Bukan karena ia selalu benar, tapi karena ia paham bahwa setiap kebijakan punya ruang untuk diperbaiki. Kritik itu sinyal, bukan ancaman. Sinyal bahwa rakyat masih peduli. Bahwa mereka masih punya suara dan yang penting masih percaya bahwa pemimpinnya bisa berubah ke arah yang lebih baik.
Memang, tak mudah. Ada kalanya seorang pemimpin merasa sedih atau prihatin melihat orang-orang pintar sibuk mengkritik. Tapi justru di sinilah peluangnya.
Orang pintar yang kritis itu bukan musuh. Mereka aset bangsa.
Mereka adalah cermin tambahan yang membantu melihat apa yang tak terlihat dari singgasana kekuasaan. Mereka bagai jangkar logika di tengah lautan emosi yang seringkali mengombang-ambingkan. Kalau mereka bersuara, biasanya bukan untuk menjatuhkan. Tapi untuk mengingatkan bahwa tujuan bernegara itu jauh lebih besar daripada sekadar menang dalam perdebatan opini.
Lalu, apa yang harus dilakukan? Pemimpin hebat tak perlu menjauh. Cukup ulurkan tangan dan katakan, “Mari, tunjukkan apa yang kalian lihat. Aku akan mendengarkan.”
Dengan pendekatan seperti itu, kritik yang tajam bisa berubah jadi dialog. Dialog yang jujur akan melahirkan pemahaman. Dan dari pemahaman itulah lahir kebijakan yang lebih matang dan menyeluruh. Begitulah kira-kira bangsa-bangsa besar dibangun: bukan dengan meminggirkan suara yang berbeda, tapi dengan merangkulnya.
Artikel Terkait
Fitrah Nusantara dan Bom Waktu Dana Alkes yang Mengguncang Partai Reformis
8 Desember: Dari Astraea di Langit hingga Tragedi di Pintu Dakota
Ketika Berita Bencana Menjadi Cermin Luka yang Masih Perih
Presiden Suriah Balas Tuduhan Teroris dengan Sorotan Gaza dan Rezim Assad