Merdeka Bergema Lagi di Aceh: Bukan Soal Perang, Tapi Kekecewaan yang Menumpuk

- Minggu, 07 Desember 2025 | 17:40 WIB
Merdeka Bergema Lagi di Aceh: Bukan Soal Perang, Tapi Kekecewaan yang Menumpuk

Sayup-Sayup, Teriakan 'Merdeka' Kembali Bergema dari Aceh

✍🏻 Azwar Siregar

Sebelas tahun lamanya, dari 2008 hingga 2019, KTP saya bertuliskan Aceh. Tapi cerita saya dengan bumi Serambi Mekah ini sebenarnya sudah dimulai jauh lebih awal, tepatnya di tahun 2002. Kalau dijumlah, hampir 17 tahun hidup saya dihabiskan di sana.

Saya mengalami sendiri masa-masa yang kelam. Era konflik antara GAM dan pemerintah, saya ada di Aceh. Saat KTP berwarna merah putih itu berlaku, saya juga masih di sana. Rasanya seperti menyaksikan sebuah bab panjang dari sejarah yang berdarah-darah.

Kehidupan seorang perantau di tengah zona konflik tentu penuh cerita. Pernah suatu kali, saya dirazia Polisi Militer. Mereka mengira saya anggota TNI yang kabur. Seram juga, sih.

Di sisi lain, saya justru beberapa kali bertemu dan ngobrol dengan para pejuang GAM. Awalnya memang penuh curiga, tapi lambat laun obrolan bisa cair, bahkan sampai tertawa bersama. Itulah Aceh waktu itu, penuh paradoks.

Saya jelajahi banyak daerah yang disebut 'merah' pada masanya: Tamiang, Langsa, Idi Rayeuk, Lhokseumawe, Bireun, Sigli, hingga Banda Aceh. Harus diakui, diam-diam dukungan untuk GAM di wilayah-wilayah itu sangat kuat.

Lalu, kerjaan saya apa? Jangan tertawa.

Saya cuma seorang salesman.

Bagi saya, saat itu, takut tidak punya uang jauh lebih mencekam ketimbang risiko ditembak di medan perang. Saya jual vacuum cleaner dan water purifier. Kebetulan perusahaannya modal asing dari Swedia. Menariknya, petinggi GAM saat itu, Tengku Hasan di Tiro, justru dilindungi pemerintah Swedia. Mungkin itu salah satu alasan mereka agak percaya pada saya.


Halaman:

Komentar