Dampak puncak terburuknya? Bayangkan jika parlemen di Senayan dan TNI tak cakap berkoordinasi. Dinamika politik yang gonjang-ganjing bisa berujung pada kekosongan kepemimpinan. Pemerintahan lalu dikendalikan oleh politik triumvirat sebagaimana diatur UUD 1945. Setelah itu, krisis bisa merembet ke mana-mana.
Bisa terjadi krisis kemanusiaan akibat kerusuhan: korban jiwa berjatuhan, pengungsi internal membludak. Indonesia lalu diisolasi dunia internasional, menjadi "negara pariah". Sanksi ekonomi berat, pariwisata dan investasi lenyap.
Dalam situasi seperti itu, Jokowi dan keluarganya terancam jadi sasaran protes, ancaman hukum, atau terpaksa eksil. Sementara Gibran sendiri berisiko mendekam di penjara. Kalaupun dapat impunitas dari penguasa baru, gangguan psikologis dan isolasi sosial akan menghantuinya. Masa depan politiknya, ya, hancur lebur.
Kita punya contoh nyata untuk direnungkan.
Thailand (2014) misalnya. Kudeta militer berujung pada sanksi internasional dan krisis ekonomi yang dalam.
Atau Myanmar (2021). Kudeta terhadap Aung San Suu Kyi memicu gelombang protes berdarah, diikuti sanksi dan isolasi global yang masih berlangsung hingga kini.
Bahkan Nepal (2024) bisa jadi referensi. Bukan tidak mungkin gerakan rakyat di sana menular ke tanah air.
Jadi, apa konklusinya? Jalan kudeta, atau bahkan skenario konstitusional yang dipaksakan, sangatlah berisiko bagi Gibran, kroninya, dan tentu saja bagi bangsa ini. Jokowi, jika memang punya rencana seperti itu, harus siap mempertaruhkan segalanya.
Memang, secara sosiologis politik, risiko-risiko tadi belum tentu muncul jika Gibran naik secara konstitusional murni. Data empiris menunjukkan, mayoritas kelompok oposisi selama satu dekade terakhir ini punya mental mirip "ayam sayur". Riuh di media sosial tak sebanding dengan aksi di gelanggang nyata. Praktis, cuma segelintir "ayam jago" yang benar-benar turun.
Catatan: Imajinasi politik ini adalah lanjutan dari narasi-narasi yang berkembang seputar sosok Gibran.
Bogor Barat, Masjid Madinah Al Munawwaroh Kp. Laladon - Ahad, 7 Desember 2025.
Ditulis sekembalinya menghadiri pernikahan putra seorang aktivis pejuang.
Artikel Terkait
Gaji Guru Bireuen Belum Cair, Diduga Dialihkan untuk Tangani Banjir
Made Supriatma Geleng-geleng: Penguasa Tak Kompeten, Hanya Andalkan Macak di Medsos
Di Tengah Lumpur dan Duka, Prabowo Habiskan Sepiring Nasi Ikan Tongkol Bersama Korban Banjir Aceh
Wali Kota Pekanbaru Ikut Kursus Lemhannas, Wakil Wali Kota Ditunjuk Plt