Nah, dalam madzhab Syafi'i sendiri, sebenarnya ada perdebatan menarik soal hukum memelihara jenggot. Tidak seragam. Sebagian ulama bilang wajib, sampai-sampai memangkasnya dianggap haram kecuali jika tumbuhnya kebangetan, baru boleh dikurangi. Tapi di sisi lain, ada juga yang menyatakan hukumnya cuma sunnah. Intinya, minimal itu sunnah. Tidak boleh diremehkan.
Yang berpendapat wajib, misalnya, Ibnu Rif’ah, Al Halimi, Al Qaffal Asy Syasyi, dan Az Zarkasyi. Bisa dilihat di kitab Hasyiyah Asy Syarwani ala At Tuhfah.
Sementara yang memilih sunnah, daftarnya juga panjang. Di antaranya Imam Ar Rafi’i, Imam An Nawawi, dan Imam Al Ghazali. Lalu ada juga Syeikh Zakariyah Al Anshari, Khatib Asy Syarbini, serta Ar Ramli. Rujukannya sama, dari kitab-kitab hasyiyah yang otoritatif.
Lho, kok bisa beda? Ternyata akar perbedaannya ada pada penafsiran terhadap pernyataan Imam Syafi'i sendiri. Beliau menggunakan istilah "laa yahillu" yang artinya "tidak dihalalkan" untuk memotong jenggot.
Nah, bagi yang mengharamkan, frasa itu langsung ditafsirkan sebagai larangan mutlak. Tapi bagi ulama lain, "laa yahillu" belum tentu haram; bisa juga maknanya makruh. Mereka memilih penafsiran makruh karena itu yang dianggap lebih sejalan dengan pendapat otoritatif dalam tubuh madzhab.
Jadi, perdebatannya memang klasik. Tapi dari sini kita lihat, ruang untuk berbeda pendapat itu ada. Asalkan caranya santun.
Artikel Terkait
Residivis Bobol Rumah di Tangerang, Emas dan Uang Rp 126 Juta Raib untuk Modal Sabu
Bencana Nasional: Rakyat Terlantar, Pemerintah Diam
Hujan Datang, Rembes Mengintai: Lima Kesalahan yang Bikin Rumah Makin Basah
Deforestasi dan Duka yang Mengalir: Saat Alam Menagih Janji Kepemimpinan