Sumatera Menjerit: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Luka yang Tak Kunjung Sembuh?

- Sabtu, 06 Desember 2025 | 06:00 WIB
Sumatera Menjerit: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Luka yang Tak Kunjung Sembuh?

"Aku tak butuh janji reklamasi. Aku butuh tanah yang tak lagi bolong seperti medan perang."

Tapi alam bisu. Ia membalas dengan caranya sendiri: banjir, longsor, kebakaran hutan, krisis air. Itulah bahasanya. Bahasa yang paling jujur, sekaligus paling menyakitkan untuk dirasakan.

Pertanggungjawaban Total: Bukan Sekadar Menunjuk, Tapi Menggugat Struktur

Jadi, ketika warga menuntut pertanggungjawaban total, maksudnya bukan cuma menghukum oknum. Mereka ingin sistemnya dibenahi sampai ke akar-akarnya.

Pertanggungjawaban total itu artinya:

1. Berhenti mengeluarkan izin baru sebelum evaluasi menyeluruh terhadap izin lama yang bermasalah dilakukan. Tak ada alasan memberi konsesi baru sementara yang lama masih berantakan.

2. Memulihkan hutan dan lahan secara nyata. Bukan sekadar di atas kertas. Reboisasi bukan ritual menanam bibit lalu berfoto. Reboisasi adalah memastikan pohon itu hidup dan tumbuh.

3. Mengakhiri impunitas bagi perusahaan besar. Kalau pelanggaran berat dibiarkan, maka itu akan jadi budaya. Budaya yang merusak.

4. Mengembalikan hak dan peran masyarakat adat serta lokal sebagai penjaga hutan yang sejati. Mereka yang paling paham.

5. Menjadikan setiap bencana sebagai titik balik kebijakan. Bukan sekadar jadi headline berita yang terlupakan dalam seminggu.

Melihat Kembali Sejarah untuk Menentukan Masa Depan

Dari sejarah panjang Sumatera, kita belajar satu hal: bencana tak pernah datang tiba-tiba. Ia dibangun setahap demi setahap. Lewat satu izin tebang yang gegabah. Satu izin tambang yang ceroboh. Satu izin perkebunan yang serakah. Satu laporan AMDAL yang dibuat asal-asalan. Dan satu pengawasan yang sengaja diabaikan.

Dari tumpukan keputusan kecil itulah, bencana besar akhirnya lahir.

Maka, pertanggungjawaban hari ini bukan cuma untuk mereka yang sedang menjabat. Tapi juga untuk jejak sejarah yang membentuk kondisi nestapa ini.

Penutup: Sumatera Tidak Sedang Menunggu Penjelasan Ia Menunggu Keberanian

Yang dibutuhkan sekarang bukan lagi laporan tebal. Bukan konferensi pers. Bukan seremoni seremonial.

Yang dibutuhkan adalah nyali.

Keberanian untuk mencabut izin yang bermasalah, sekalipun dari perusahaan besar. Keberanian menolak godaan ekonomi jangka pendek yang merusak. Keberanian untuk tegas menyatakan bahwa pulau ini bukan lagi objek eksploitasi tanpa batas.

Sumatera sudah terlalu lama jadi korban. Korban dari kebijakan yang memandang hutan sebagai angka di grafik, tanah sebagai aset yang bisa diperjualbelikan, dan sungai sebagai saluran pembuangan.

Sekarang saatnya membalik narasi. Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Sejarah nanti akan mencatat dengan pilu: bahwa ketika Sumatera berteriak minta tolong, suaranya tak didengar oleh mereka yang seharusnya bertindak.

(JAKSAT/ED/ahm)


Halaman:

Komentar