Sumatera Menjerit: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Luka yang Tak Kunjung Sembuh?

- Sabtu, 06 Desember 2025 | 06:00 WIB
Sumatera Menjerit: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Luka yang Tak Kunjung Sembuh?

SUMATERA: PULAU YANG DIKORBANKAN DAN HISTORIS TENTANG AKUNTABILITAS YANG HILANG

Sumatera punya sejarah yang panjang. Sayangnya, sejarah itu adalah sejarah pengorbanan. Bayangkan dulu, hutan-hutannya begitu lebat. Gelap. Saking lebatnya, sinar matahari pun kesulitan menembus hingga ke tanah. Air sungainya jernih, bisa diminum langsung. Gunung-gunungnya berdiri tegak bagai penjaga yang tak tergoyahkan. Tapi lihat sekarang. Sungai-sungai banyak yang berubah warna. Gunung-gunung terkikis. Desa-desa kerap berubah jadi genangan. Dan banyak keluarga yang kehilangan bukan cuma rumah, tapi juga harapan.

Pertanyaannya sudah bergeser. Bukan lagi "kenapa ini bisa terjadi?"

Sekarang pertanyaannya lebih tajam: "Sampai kapan kita akan berpura-pura tidak tahu, siapa sebenarnya yang memegang kendali atas tanah yang digunduli, bukit yang ditambang, dan izin-izin yang begitu mudah diteken?"

Sumatera dalam Cengkeraman Sejarah Ekstraksi

Polanya sudah berlangsung lama. Sejak era kolonial Belanda membuka perkebunan tembakau dan karet di abad ke-19, Sumatera sudah ditakdirkan jadi ladang eksploitasi. Ratusan ribu hektar hutan dibabat. Bukan untuk kemakmuran lokal, tapi untuk memuaskan pasar dunia.

Zaman berganti. Tapi polanya, nyaris sama saja.

Setelah kolonial pergi, datanglah sawit. Raksasa industri modern menggantikan tuan tanah lama. Mereka datang dengan alat berat, peta konsesi, segudang surat izin, dan tentu saja, janji manis pembangunan. Hasilnya? Mirip. Hutan terus menyusut. Tanah terbuka lebar. Sungai tercemar. Sementara masyarakat adat perlahan-lahan terdesak ke pinggiran.

Kini kita hidup di era baru. Era di mana izin industri lahir dari rapat-rapat panjang di ruang ber-AC. Era laporan AMDAL yang tebalnya ratusan halaman, tapi isinya kerap tak benar-benar dibaca. Era reklamasi tambang yang hanya hidup di atas kertas, bukan di lapangan yang tandus.

Singkatnya, Sumatera telah menjadi laboratorium raksasa. Tempat kita menyaksikan apa jadinya ketika ekonomi jangka pendek menang telak atas prinsip keberlanjutan.

Tata Kelola yang Membiarkan Luka Menganga

Ada tiga poros kekuasaan yang punya andil besar menentukan nasib ekologis Sumatera: sektor energi & tambang, kehutanan, dan lingkungan hidup. Ini bukan soal menyalahkan orang per orang. Cukup tilik sejarah kelembagaannya.

Pertama, sektor pertambangan. Ceritanya adalah sejarah izin yang dikeluarkan jauh lebih cepat daripada pengawasannya. Pasca otonomi daerah di awal 2000-an, izin tambang tumbuh subur bak jamur di musim hujan. Legal? Ada yang iya, banyak yang abu-abu. Banyak yang terbit tanpa kajian ekologis yang memadai. Dan ketika kewenangan ditarik kembali ke pusat, kerusakan sudah terlanjur parah. Lubang-lubang tambang menganga seperti luka yang tak kunjung sembuh.

Hingga detik ini, luka itu masih ada. Hujan datang, banjir pun melanda. Tanah longsor. Bencana seolah jadi konsekuensi logis dari kelalaian yang sudah menumpuk.

Kedua, sektor kehutanan. Inilah panggung deforestasi terbesar di Asia. Yang tragis, semuanya tercatat rapi dan seringkali legal. Ada izin tebang, izin konsesi, izin industri. Dari ujung Aceh hingga Lampung, hutan alam dikonversi jadi kayu gelondongan, lalu jadi devisa. Keanekaragaman hayati yang dulu dibanggakan pun tergerus. Harimau dan gajah, simbol kebanggaan rimba, kini lebih sering muncul di berita konflik yang memilukan.

Ironisnya, saat banjir bandang menerjang, kita semua pura-pura terkejut. Padahal, benih bencana itu sudah ditanam puluhan tahun silam.

Ketiga, sektor lingkungan hidup. Sejarahnya adalah sejarah peringatan yang tak digubris. Setiap tahun laporan terbit. Setiap tahun pula pelanggaran ditemukan. Tapi banyak kasus mandek di meja administrasi, berakhir sebagai arsip. Masyarakat sebenarnya tak butuh laporan. Mereka butuh air sungai yang tak lagi keruh. Mereka rindu hutan yang tak mudah roboh.

Kalau izin lingkungan cuma jadi formalitas belaka, ya bencana adalah formalitas lanjutannya.

Di sisi lain, coba bayangkan. Jika alam bisa bicara, kira-kira apa yang akan Sumatera katakan?

Mungkin begini: "Aku tak butuh pidato. Aku butuh pohon-pohon yang tumbuh kembali."

"Aku tak butuh kunjungan pejabat saat banjir. Aku butuh pencegahan sebelum segalanya terjadi."


Halaman:

Komentar