Korban dan Pelaku: Dua Wajah dari Satu Perang yang Tak Pernah Berakhir

- Jumat, 05 Desember 2025 | 16:20 WIB
Korban dan Pelaku: Dua Wajah dari Satu Perang yang Tak Pernah Berakhir

Jadilah Rahmanullah dan keluarganya diterbangkan keluar lewat Operasi Allies Welcome. Seperti sekitar 190.000 warga Afghanistan lain, mereka tiba dengan status pembebasan bersyarat, lalu mengajukan permohonan tinggal permanen.

Setelah singgah sebentar di pangkalan militer, mereka mendarat di Bellingham, Washington. Sebuah organisasi Kristen, World Relief, menangani pemukiman mereka. Relawan bantu urus rumah, dokumen, sekolah, dan lamaran kerja.

Awalnya, kehidupan baru sepertinya mulai terbentuk. Mereka menghias rumah dengan karpet dan bantal khas Afghanistan. Istrinya menjahit dengan mesin sumbangan. Mereka minum teh bersama sesama pengungsi dan relawan Amerika. Dia mengajak kelima anak lelakinya ke masjid. Untuk sesaat, “kewajiban moral” itu terasa nyata.

Tapi kemudian, perang di dalam dirinya menyala kembali.

Di awal 2023, seorang relawan yang dekat dengan keluarganya menyaksikan keruntuhan itu. Rahmanullah berhenti kerja. Dia mengurung diri di kamar gelap, sering menolak keluar. Kelas bahasa Inggris ditinggalkan. Pengunjung dihindari. Sewa tidak dibayar, hingga keluarga itu nyaris diusir. Saat istrinya pergi, anak-anak lelakinya kadang dibiarkan tak mandi dan berpakaian lusuh.

Dia juga mulai menyetir mobilnya sendirian, berhari-hari tanpa tujuan jelas ke Chicago, Phoenix, Indianapolis sambil mengunggah foto-foto perjalanan, di saat kehidupan keluarganya berantakan.

Pada Januari 2024, relawan itu menuangkan kekhawatirannya dalam email. “Rahmanullah tidak berfungsi sebagai pribadi, ayah, dan pencari nafkah sejak Maret tahun lalu,” tulisnya. Dia yakin Rahmanullah menderita stres pascatrauma akibat kerja sama dengan pasukan AS, dan mungkin juga mengalami gangguan bipolar. Perjalanan lintas negara itu disebutnya sebagai “perjalanan manik”.

Dia mencoba membunyikan alarm. Email itu diteruskan ke organisasi pengungsi nasional. Seorang petugas program sempat berkunjung ke Bellingham, tapi kemudian mengaku tidak ingat dengan kasus spesifik ini dan tak pernah bertemu Rahmanullah.

Sementara itu, sistem imigrasi berjalan seperti biasa. Statusnya diperpanjang. Permohonan suaka diajukan. Kasusnya dipercepat. Pada April tahun ini, suakanya disetujui. Pemerintahan Biden dan Trump, secara efektif, mengizinkannya tinggal.

Di atas kertas, semuanya beres. Tapi kenyataannya, Amerika Serikat telah mengambil seorang pria yang dijadikan senjata, memindahkannya ke kota kecil dengan perabotan sumbangan dan niat baik relawan, tanpa pernah memberi perawatan kesehatan mental yang serius, lalu pergi begitu saja.

Siapa pun yang memperhatikan nasib banyak veteran AS pasti kenal pola ini.

Ketika Negara Terkejut dengan Kekacauan yang Diciptakannya Sendiri

Kita sudah sering lihat ini, bahkan di film-film.

Kita kirim anak-anak muda sering dari keluarga miskin ke medan perang yang dibangun di atas kebohongan. Kita latih mereka untuk membunuh. Kita pertontonkan mereka pada kengerian. Kita libatkan mereka dalam hal-hal yang menggerogoti hati nurani, lama setelah tembakan terakhir. Lalu kita bawa mereka pulang, lemparkan kembali ke kehidupan biasa dengan segelintir brosur dan nomor telepon, dan suruh mereka bersyukur.

Saat mereka mulai hancur, muncullah kekerasan dalam rumah tangga, perkelahian, kecanduan, kilas balik, bahkan tunawisma. Kadang yang lebih buruk: penembakan massal, kehancuran keluarga, serangan di tempat kerja. Anda tak perlu menggali jauh sejarah penembakan massal di Amerika untuk menemukan pola yang familiar: veteran, trauma tak tertangani, tanda bahaya, tanpa intervensi, lalu tragedi.

Kita lakukan ini pada anak-anak kita sendiri yang berseragam. Maka tentu saja kita akan melakukan hal yang sama pada remaja Afghanistan yang kita jadikan instrumen kebijakan luar negeri.

Itulah yang membuat kasus ini terasa begitu mudah ditebak. Ini bukan kekacauan acak. Ini produk logis dari sebuah sistem yang jago menciptakan mesin pembunuh, tapi payah merawat manusia di dalamnya.


Halaman:

Komentar