Korban dan Pelaku: Dua Wajah dari Satu Perang yang Tak Pernah Berakhir

- Jumat, 05 Desember 2025 | 16:20 WIB
Korban dan Pelaku: Dua Wajah dari Satu Perang yang Tak Pernah Berakhir

✍🏻 Shaun King

Hanya dua blok dari Gedung Putih, Sarah Beckstrom tewas ditembak. Ia anggota Garda Nasional yang baru berusia 20 tahun. Rekannya terluka parah. Ini bukan cerita dari sudut Amerika yang terlupakan. Kejadiannya justru berlangsung di salah satu zona paling dijaga di planet ini dipagari polisi, diawasi ketat, dan dibiayai dengan dana yang luar biasa besar.

Sarah tergabung dalam “DC Safe and Beautiful Task Force”. Begitu nama resminya. Misi mereka, setidaknya yang diiklankan, adalah memerangi kejahatan dan ‘mempercantik’ kota. Bahkan ada video promosi militer yang memamerkan tentara berseragam sedang memungut sampah di sekitar Washington, D.C. Nah, itulah peran Sarah di ibu kota negara: menjadi properti panggung berseragam dalam sebuah teater politik bertajuk ‘keamanan’. Dan di tengah peran itulah, peluru menghampirinya.

Lalu, siapa pelakunya?

Terduga pelaku penembakan adalah Rahmanullah Lakanwal, pria Afghanistan 29 tahun. Ia mendapat suaka di AS setelah sebelumnya bertugas di unit paramiliter yang didukung CIA di negaranya.

Kalau kita mengikuti narasi resmi, cerita mungkin berhenti di sini: seorang asing berbahaya, pengungsi yang tak tahu terima kasih, bukti bahwa kita terlalu lunak. Titik.

Tapi coba kita mundur selangkah. Lihat siapa pria ini sebenarnya, apa yang pernah kita lakukan padanya, dan bagaimana akhirnya kita meninggalkannya. Gambarannya jadi lain sama sekali. Pada dasarnya, dia ini seperti Jason Bourne versi kehidupan nyata.

Penembakan ini bukan ledakan tiba-tiba. Ia lebih mirip garis lurus sebuah konsekuensi yang bisa ditebak. Inilah kisahnya.

Dari Remaja Desa Jadi Aset Perang

Laporan New York Times melacak hidup Rahmanullah, mulai dari desa penghasil gandum di dekat Khost, lalu ke unit paramiliter CIA di Kandahar, hingga akhirnya berlabuh di sebuah apartemen di Bellingham, Washington.

Dia masih kecil saat AS menginvasi Afghanistan pasca 9/11. Di usia belasan sekitar 15 tahun menurut beberapa sumber dia sudah direkrut ke Unit 03. Ini bagian dari apa yang disebut “Unit Nol”, yang didanai, dilatih, dan diarahkan langsung oleh CIA. Mereka bukan tentara Afghanistan biasa. Tugas mereka lebih gelap: mendobrak pintu di tengah malam, memburu tersangka Taliban, mengerjakan hal-hal yang tak ingin AS ketahui publik. Human Rights Watch bahkan menuduh Unit Nol terlibat pembunuhan di luar hukum dan penghilangan paksa.

Intinya, Amerika mengambil seorang anak desa dan mengubahnya sesuai kebutuhan: jadi pembunuh bayaran yang diarahkan ke musuh-musuhnya. Semua beroperasi di zona abu-abu, di mana hukum perang seringkali cuma sekadar saran.

Teman-teman desanya bilang ke Times, setiap pulang libur, dia berubah total. Remaja yang dulu supel dan suka piknik, berubah jadi pendiam dan tegang. Enggan keluar rumah. Tak mau bicara soal pekerjaannya. Dia minta orang-orang jangan tanya-tanya. Konon, mayat dan darah yang dilihatnya telah mengguncang jiwanya.

Bayangkan kalau seorang remaja Amerika pulang dari tugas operasi khusus dengan kondisi seperti itu. Pasti kita akan sebut itu PTSD, cedera moral, atau trauma tempur. Entah dia akan dapat perawatan atau tidak, itu soal lain tapi setidaknya kita akan paham bahwa sesuatu yang dalam telah terjadi di pikirannya.

Pada remaja Afghanistan ini? Kami ambil data biometriknya, catat misinya, dan terus mengirimnya kembali ke lapangan.

Eksodus ke Amerika dan Keruntuhan yang Perlahan

Saat Kabul jatuh tahun 2021, Unit-Unit Zero masih dikerahkan. Komandan AS minta mereka bantu amankan bandara selama evakuasi kacau-balau. Sebagai imbalan, pejabat AS berjanji akan membawa mereka keluar dari Afghanistan sebuah “kewajiban moral” untuk melindungi orang-orang yang sudah mempertaruhkan nyawa demi kepentingan Amerika.


Halaman:

Komentar