Bencana Sumatera: Panggung Politik di Atas Puing dan Lumpur

- Jumat, 05 Desember 2025 | 16:00 WIB
Bencana Sumatera: Panggung Politik di Atas Puing dan Lumpur

Kedatangan Presiden Prabowo ke Tapanuli Tengah jelas memberi sinyal bahwa pusat "hadir". Namun, nilai dari kehadiran itu akan ditentukan oleh langkah-langkah konkret setelahnya. Apakah status bencana akan ditingkatkan? Akankah ada tindakan luar biasa, atau semuanya berakhir pada kunjungan dan arahan lisan belaka?

Reuni di Atas Penderitaan: Simbol yang Tak Diikuti Perubahan

Yang paling menyakitkan bagi warga sebenarnya bukan sekadar kedatangan para pejabat. Melainkan perasaan "déjà vu" yang kuat. Tahun lalu, mereka menyaksikan banjir dan longsor melanda daerah lain di Sumatra. Beberapa tahun sebelumnya, bencana serupa juga terjadi. Para pejabat juga datang waktu itu. Mereka berjanji, menggelar rapat koordinasi, dan mengadakan konferensi pers.

Tapi sampai hari ini, praktik perizinan yang merusak hulu DAS, pembalakan liar, dan pengabaian rekomendasi ilmiah masih saja berjalan. Bencana seolah hanya jadi episode berita, bukan alarm untuk melakukan perubahan mendasar.

Karena itulah frasa "ajang reunian para politisi" terasa begitu pas. Mereka berkumpul, bersalaman, saling memuji di depan kamera, lalu kembali ke rutinitas kekuasaan masing-masing. Sementara warga? Mereka kembali ke rumah jika masih tersisa untuk membersihkan lumpur dan memulai hidup dari nol lagi.

Lalu, Apa yang Seharusnya Dilakukan?

Di titik ini, peran Presiden Prabowo menjadi sangat krusial. Sebagai pemegang kendali politik dan administratif tertinggi, ada beberapa langkah strategis yang jauh lebih penting ketimbang sekadar turun ke lokasi.

Pertama, memerintahkan audit menyeluruh terhadap tata ruang dan perizinan di seluruh wilayah terdampak. Termasuk izin untuk perkebunan, tambang, dan pemanfaatan kawasan hulu sungai. Hasil audit ini harus transparan, agar publik tahu siapa saja yang berkontribusi pada kerentanan bencana.

Kedua, mendorong penegakan hukum lingkungan secara tegas dan tanpa pandang bulu. Gunakan instrumen UU yang ada, sekalipun itu harus menyentuh korporasi besar yang punya kedekatan dengan elite politik. Di sinilah integritas benar-benar diuji.

Ketiga, memperkuat mandat BNPB dan BPBD. Lembaga ini harus jadi lebih dari sekadar penyalur logistik. Mereka harus punya "taring" untuk memaksa pemerintah daerah patuh pada peta risiko bencana dan rekomendasi ilmiah.

Keempat, mengambil keputusan tegas soal status bencana nasional. Jangan berdasarkan kalkulasi citra atau stabilitas politik jangka pendek, tapi murni pada data. Kalau memang skalanya sudah nasional, katakan saja dengan jujur.

Tanpa langkah-langkah nyata seperti ini, kedatangan presiden dan pejabat lainnya akan mudah dibaca sebagai "pamer kekuatan politik", bukan "unjuk tanggung jawab".

Bencana di Sumatera saat ini bukan peristiwa yang berdiri sendiri. Ini adalah rangkaian panjang dari sebuah pola lama: lingkungan yang rusak, regulasi yang lemah di lapangan, penegakan hukum yang tumpul ke atas, serta politik yang terlalu nyaman bermain di wilayah simbolik.

Warga tidak membutuhkan reuni politisi. Mereka butuh jaminan bahwa rumah mereka tidak akan dihantam banjir bandang setiap beberapa tahun sekali. Mereka butuh pemerintah yang berani bilang "cukup" pada praktik perusakan lingkungan, meski itu berarti berhadapan dengan jejaring kepentingan ekonomi dan politik yang sangat kuat.

Kedatangan Presiden Prabowo ke Sumatera seharusnya bisa menjadi titik balik. Bukan cuma satu episode lagi dalam serial panjang "panggung bencana". Dari sinilah publik akan menilai: apakah bencana kali ini benar-benar jadi momentum reformasi kebijakan, atau tetap dibiarkan sebagai ajang reunian para politisi yang sibuk hadir, tapi lupa untuk berubah.


Halaman:

Komentar