Banjir bandang. Longsor. Jembatan putus. Ratusan korban jiwa, ribuan warga terpaksa mengungsi. Itulah gambaran Sumatera belakangan ini. Hujan ekstrem, didorong oleh siklon dan kerusakan ekosistem hutan di hulu daerah aliran sungai, membuat sejumlah wilayah di Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh benar-benar lumpuh.
Namun di tengah kepanikan warga dan bunyi sirene ambulans yang tak putus-putus, ada satu pola yang makin terasa akrab: bencana seolah berubah jadi panggung. Sumatera seperti menjelma jadi "venue besar", tempat para politisi dari berbagai tingkatan berkumpul. Mulai dari pejabat pusat hingga daerah, dari yang masih aktif sampai mantan, dari petinggi partai hingga mereka yang sudah mempersiapkan diri untuk pemilu berikutnya.
Lokasi Bencana yang Mirip "Red Carpet Politik"
Begitu angka korban meninggal dan hilang diumumkan, begitu pula laporan kerusakan disiarkan, rombongan pejabat pun segera bergerak. Deretan mobil dinas, pengawalan ketat, dan kamera media yang sudah menunggu di depan tenda pengungsian. Di layar televisi, kita disuguhi adegan yang nyaris serupa tiap kali bencana besar melanda: seorang pejabat membagikan bantuan, menepuk pundak pengungsi, lalu berpidato singkat di depan mikrofon.
Kali ini, Presiden Prabowo Subianto turun langsung meninjau wilayah terdampak di Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Ia melihat dari dekat dapur umum, berbincang dengan warga, memastikan logistik tersalur, bahkan membawa dukungan teknologi seperti jaringan komunikasi darurat.
Secara formal, tentu saja ini bagian dari tugas seorang kepala negara: hadir di tengah rakyatnya saat musibah datang. Tapi di lapangan, kedatangan presiden otomatis menarik pejabat lain untuk ikut serta. Menteri, gubernur, bupati, anggota DPR, bahkan politisi yang sebenarnya tak punya tugas langsung di penanggulangan bencana. Inilah momen "reuni" itu. Mereka semua berkumpul dalam satu frame, satu panggung yang dibangun di atas puing rumah dan lapisan lumpur yang tebal.
Lalu, pertanyaan besarnya: Apa yang benar-benar berubah setelah pesawat kepresidenan meninggalkan lokasi dan rombongan itu kembali ke Jakarta?
Regulasi Banyak, Tapi Bencana Kok Terus Berulang?
Jujur saja, Indonesia sebetulnya tidak kekurangan regulasi. Untuk urusan bencana saja, ada UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana yang dengan tegas menyebut mitigasi sebagai kewajiban negara, bukan sekadar respons darurat. BNPB dan BPBD dibentuk bukan untuk konferensi pers, melainkan untuk memastikan peta risiko, sistem peringatan dini, dan tata ruang benar-benar dijalankan di lapangan.
Masalahnya, di lapangan ceritanya sering berbeda. Banyak daerah di Sumatera justru mengizinkan lereng dan hulu sungai dialihfungsikan untuk perkebunan, tambang, dan proyek-proyek lainnya. Di sinilah "politik izin" bersinggungan langsung dengan "bencana ekologis".
Para ahli sudah lama mengingatkan bahwa kerusakan ekosistem hutan di hulu DAS ibarat bom waktu. Seorang pakar hidrologi UGM, misalnya, menegaskan bahwa kerusakan itu membuat kawasan kehilangan kemampuannya untuk meredam curah hujan ekstrem. Alhasil, banjir bandang dan longsor menjadi pola yang terus berulang.
Kita juga punya UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Aturan itu mengancam sanksi pidana dan perdata bagi korporasi perusak lingkungan. Tapi yang sering kali lebih mencolok saat bencana adalah tumpukan bantuan kemasan dengan logo kementerian atau partai, bukan kabar soal perusahaan mana yang sedang diperiksa pertanggungjawabannya.
Dengan skala kerusakan dan korban jiwa yang sudah mencapai ratusan, publik pun bertanya-tanya: Kenapa bencana ini belum juga ditetapkan sebagai bencana nasional?
BNPB punya penjelasan. Status bencana nasional, kata mereka, dilihat dari berbagai indikator seperti luas wilayah, jumlah korban, dampak ekonomi, dan kemampuan daerah menanganinya.
Di sisi lain, suara dari kalangan politisi mulai terdengar. Beberapa mendesak pemerintah pusat agar segera menetapkan status bencana nasional untuk banjir dan longsor di Sumatra ini. Mereka berargumen kerusakannya sudah sangat meluas dan jauh di luar kapasitas daerah. Ketua MPR juga mengingatkan bahwa penetapan status itu sepenuhnya ada di tangan presiden.
Di sini terlihat tarik-ulur antara hukum dan politik. Secara normatif, pemerintah boleh berhati-hati karena ada konsekuensi anggaran dan tata kelola yang harus dipikirkan. Tapi ketika korban sudah sedemikian banyak, akses jalan terputus, dan daerah tak lagi sanggup mengatasi sendiri, penundaan pemberian status itu terasa sarat dengan muatan politis.
Artikel Terkait
Sepuluh Cerita Viral Kalbar 2025: Dari Biawak Bandara hingga Maling Kartu Uno
Bencana Aceh dan Sumatera: 867 Tewas, Ratusan Ribu Warga Mengungsi
Banjir Sumatra: Saat Air Bah Menguji Iman dan Nurani Manusia
Wartawan Diusir dan Diancam Saat Selidiki Dugaan Keracunan Makanan di Ngawi