Melihat kondisi hutan yang kian tergerus, saya pernah berucap pada Cik Mail,
"Kalau begini terus, banjir besar cuma soal waktu. Lihat air sungai Krung Kerto saja, sudah keruh sekali."
Cik Mail hanya mengangguk. Perjuangannya terus berlanjut. Setiap Jumat, ia tetap mengirimkan kabar dari wilayah yang ia lindungi sebagian sudah masuk konsesi perkebunan. Ia berjuang agar kawasan itu tak benar-benar hilang.
Namun ketika banjir besar benar-benar melanda, pernyataan resmi pemerintah justru mengecewakan. Seorang menteri menyebut kayu-kayu yang hanyut itu hanya kayu lapuk, bukan hasil tebangan. Pernyataan itu terasa sangat janggal bagi siapa pun yang pernah menginjakkan kaki dan melihat langsung kondisi hutannya. Seandainya para pejabat itu mau turun ke lokasi, mereka akan sadar betapa parah kerusakan yang sebenarnya terjadi.
Air Tetap Sama, yang Berubah Adalah Cara Kita Menjaga Alam
Pada prinsipnya, banjir cuma perpindahan air dari satu tempat ke tempat lain. Jumlah air di bumi ini sebenarnya tak pernah berkurang atau bertambah. Alam diciptakan dalam keseimbangan yang sempurna. Tapi keseimbangan itu mulai goyah ketika berbagai faktor dari keserakahan manusia sampai anomali cuaca saling berpadu dan memperburuk keadaan.
Memang, kerusakan hutan bukan satu-satunya pemicu banjir besar di Sumatra. Tapi mengabaikan peran deforestasi sama saja dengan menutup mata. Kenyataan pahitnya, ekosistem kita sedang berada di ujung tanduk.
Oleh: Deman H.G (Aktivis Lingkungan)
Artikel Terkait
Pacul di Trotoar Jakarta: Kisah Warna dan Mimpi yang Tertunda di Rawa Belong
Mempawah Terima Hibah 148 Lampu Jalan Tenaga Surya Senilai Rp 2,2 Miliar
Gelang Emas dan Rp 8 Juta Raib, Pelaku Pencurian di Jongkat Diringkus Polisi
Prabowo Sambut Hangat Wang Huning di Istana, Pagellu Toraja Meriahkan Kedatangan