- Evakuasi terhambat. Personel terbatas, akses sulit, peralatan seadanya.
- Mitigasi yang lemah. Sosialisasi minim, kesadaran masyarakat masih rendah, infrastruktur pencegah bencana jauh dari memadai.
- Kebijakan yang tidak berkelanjutan. Fokusnya cuma tanggap darurat, bukan pencegahan jangka panjang.
- Koordinasi birokrasi yang lamban. Sering tumpang tindih antara pusat, provinsi, dan daerah.
- Investasi untuk kesiapsiagaan yang sangat minim. Padahal, negara dengan ancaman bencana tinggi wajib punya sistem mitigasi yang mapan.
Ini semua menunjukkan bahwa negara belum benar-benar menjadikan pengelolaan bencana sebagai prioritas strategis. Polanya masih seperti "pemadam kebakaran": baru bergerak kalau bencana sudah terjadi, tapi ogah-ogahan saat harus mencegahnya.
Dalam Islam, kebijakan seperti ini jelas mengabaikan amanah besar untuk menjaga nyawa rakyat. Negara punya kewajiban untuk memastikan keselamatan warganya dengan membangun sistem mitigasi yang komprehensif, mengatur tata ruang yang aman, melindungi lingkungan, dan menyiapkan mekanisme tanggap bencana yang cepat dan memadai.
Paradigma Islam: Melihat Bencana dari Dua Sisi
Islam memberikan dua kerangka penting untuk memahami bencana.
Pertama, Dimensi Ruhiyah (Spiritual). Musibah adalah tanda kekuasaan Allah, sebuah pengingat, dan bentuk ujian. Tapi, ini jangan disalahartikan jadi sikap fatalis. Islam tidak menganjurkan kita pasrah tanpa ikhtiar. Justru, Islam mengajak untuk introspeksi, memperbaiki hubungan dengan Allah, menjauhi maksiat terhadap alam, dan menegakkan etika sebagai khalifah di bumi. Singkatnya, bencana harus jadi momentum untuk muhasabah.
Kedua, Dimensi Siyasiyah (Politik). Islam menegaskan bahwa pemimpin wajib mengelola ruang, alam, dan sumber daya berdasarkan prinsip keadilan, amanah, dan berkelanjutan. Orientasinya harus keselamatan rakyat dan menjaga keseimbangan ekologi.
Kerusakan lingkungan akibat kelalaian pemerintah, apalagi kalau sampai membiarkan korporasi serakah, adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah kekuasaan.
Lalu, Solusi seperti apa yang Ditawarkan Islam?
Pertama, membangun kesadaran ruhiyah masyarakat. Harus ditegaskan bahwa merusak alam adalah dosa. Alam adalah makhluk Allah yang harus dijaga. Edukasi publik di keluarga, sekolah, lembaga dakwah wajib ditingkatkan.
Kedua, mengakhiri eksploitasi kapitalistik terhadap alam. Penataan ulang kebijakan lingkungan harus berdasarkan nilai syariah: mencegah bahaya (dar'u al-mafasid), mewujudkan kemaslahatan umum (maslahah 'ammah), melindungi hak generasi mendatang, dan membatasi eksploitasi sumber daya secara ketat. Islam menolak sistem ekonomi yang halalkan perusakan alam demi profit.
Ketiga, negara wajib menyediakan sistem mitigasi yang kuat dan komprehensif. Mulai dari pemetaan risiko, peringatan dini, tata ruang ketat, rehabilitasi hutan, infrastruktur perlindungan, edukasi kebencanaan di sekolah, hingga pembiayaan yang memadai. Negara tidak boleh cuma aktif saat bencana terjadi.
Keempat, tanggung jawab penuh dalam pemulihan korban. Pemerintah wajib berikan bantuan logistik yang layak, layanan kesehatan, dukungan psikologis, tempat tinggal sementara yang manusiawi, dan pemulihan ekonomi sampai korban benar-benar pulih. Ini bukan sekadar kebijakan, tapi kewajiban syar'i untuk menjaga nyawa (hifzhun nafs).
Penutup: Bencana adalah Cermin yang Harus Kita Lihat
Banjir, longsor, dan berbagai musibah yang terus berulang ini harusnya jadi tamparan keras bagi kita semua. Kerusakan lingkungan yang terjadi bukanlah kebetulan. Banyak di antaranya adalah buah dari keserakahan manusia, terutama dalam sistem yang menjadikan alam sebagai sapi perah.
Islam menawarkan paradigma yang lebih luhur: manusia adalah khalifah di muka bumi, bukan penguasa absolut. Allah memberikan amanah, bukan izin untuk merusak.
Sudah waktunya kita hentikan pendekatan pembangunan yang cuma kejar pertumbuhan ekonomi dan investasi, tapi korbankan keselamatan rakyat dan keberlanjutan lingkungan. Bencana jangan lagi dilihat sebagai takdir yang tak terelakkan, tapi sebagai sinyal kuat bahwa tata kelola kita selama ini salah arah.
Dengan kembali pada nilai-nilai Islam keadilan, keseimbangan, tanggung jawab ekologis, dan amanah kepemimpinan kita bisa bangun masa depan yang lebih aman, berkelanjutan, dan penuh berkah. Wallahu'alam.
Ernadaa Rasyidah
Artikel Terkait
Paus Leo XIV Desak Pengakuan Kemerdekaan Palestina dalam Lawatan Timur Tengah
Tito Karnavian: Kepala Daerah yang Tak Punya Insting Bisnis, Undang Saja Pengusaha
Ridwan Kamil Diperiksa KPK, Mobil Mewah dan Aliran Dana Iklan BJB Jadi Sorotan
Di Tengah Duka Bencana, Gubernur Sumbar Batalkan Pesta Pernikahan Anak