Potensi Zakat Rp327 Triliun Tersandera oleh Ketiadaan Transparansi

- Senin, 01 Desember 2025 | 18:00 WIB
Potensi Zakat Rp327 Triliun Tersandera oleh Ketiadaan Transparansi

Ditulis oleh: Muh Khaeril

Di bulan Ramadhan, seruan zakat menggema di mana-mana. Dari khotbah Jumat hingga obrolan sore di teras rumah, zakat selalu disebut sebagai napas keadilan. Ia lebih dari sekadar kewajiban individu; ia adalah jalan untuk menciptakan keseimbangan, mengulurkan tangan pada mereka yang tertatih.

Sebagai negara dengan populasi muslim terbesar, Indonesia seharusnya bisa jadi contoh dalam hal ini. Bayangkan saja, potensi zakat di negeri ini menurut BAZNAS mencapai angka fantastis: Rp327 triliun per tahun. Jumlah yang sulit dibayangkan, tapi dampaknya bisa luar biasa. Bisa mengubah wajah kemiskinan secara drastis, kalau saja dikelola dengan serius.

Tapi kenyataannya? Dana yang benar-benar terkumpul oleh lembaga resmi tak sampai sepuluh persen dari angka tadi. Sangat jauh.

Di sisi lain, kondisi di lapangan justru memprihatinkan. Laporan Bank Dunia memproyeksikan bahwa pada 2025, sekitar 68,3 persen penduduk kita masih hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka rentan. Goyah oleh krisis sekecil apa pun, atau kenaikan harga sembako yang mendadak.

Jadi, di mana masalahnya? Bukan pada aturan agamanya, bukan pada kemauan umatnya. Jurang lebar antara potensi dan realita ini bernama kepercayaan. Atau lebih tepatnya, kurangnya kepercayaan.

Sebuah penelitian yang dilakukan Mohammad Qutaiba dan kawan-kawan pada 2024 menguak sesuatu yang patut kita renungkan. Timnya meneliti 32 lembaga amil zakat nasional. Fokusnya sederhana: seberapa terbuka mereka dalam melaporkan keuangan dan kegiatannya ke publik?

Hasilnya? Bikin miris.

Sebelas lembaga ternyata sama sekali tidak menyediakan laporan keuangan di situs mereka. Nihil. Tak ada laporan tahunan, ringkasan penyaluran, apalagi hasil audit. Hanya satu lembaga yang dinilai memenuhi standar keterbukaan dengan baik.

Penelitian itu juga mencatat alasan banyak orang memilih menyalurkan zakat langsung. Kata mereka, karena persepsi bahwa lembaga resmi kurang transparan dan akuntabel. Intinya, masyarakat bertanya-tanya: uang saya dipakai untuk apa, dan sampai ke siapa?

Ini masalah serius. Zakat itu amanah. Dan amanah menuntut kejelasan. Kalau lembaga zakat saja gelap-gelapan, bagaimana mungkin para penyumbang bisa merasa tenang?

Namun begitu, kita juga tak boleh menyamaratakan. Banyak lembaga zakat yang sudah bekerja keras dengan tulus. Mereka membiayai sekolah anak yatim, membangun sumber air bersih di desa terpencil, mengangkat derajat keluarga miskin jadi wirausaha mandiri. Ribuan amil bekerja di balik layar tanpa banyak bicara. Jasa mereka besar.


Halaman:

Komentar